Kartini-Kartini Tangguh Masa Kini

Demi Sekolah Anak, Jadi Buruh Gendong di Beringharjo

RADAR JOGJA - Kartini-Kartini Indonesia tidak hanya terlahir dari lingkungan yang berlimpah materi dan pendidikan tinggi. Dari lorong-lorong kehidupan kaum proletar, juga tumbuh ribuan Kartini. Sajiyem dan Maryanti, dua buruh gendong Pasar Beringharjo adalah potret Kartini Indonesia yang tidak pernah lapuk oleh modernisasi. Demi sesuap nasi, mereka tinggalkan stereotip perempuan sebagai konco wingking.

LAILA ROCHMATIN, Jogja
---

Siang kemarin, jam menunjukkan pukul 12.00. Suhu udara di Pasar Beringharjo terasa panas. Tampak seorang perempuan berjilbab keluar dari pasar tradisional terbesar di DIJ ini. Tiba-tiba dia melambaikan tangan kanannya ke arah para perempuan yang tengah duduk di teras tangga pintu masuk sebelah timur.

Langsung saja para perempuan yang kemudian diketahui bernama Sajiyem, 55, Maryanti, 40, dan teman-temannya para buruh gendong, segera mendekat. Setelah terjadi tawar menawar, para perempuan itu pun dengan gesit menggendong barang bawaan sang pembeli. Mulai dari beras, gula Jawa, dan gandum.

Setiap hari, tanpa ada hari libur pasti, Sajiyem dan Maryanti mencoba mengais rezeki sebagai buruh gendong di pasar ini. Berat, letih, dan badan pegel-pegel adalah santapan yang harus dinikmati setiap hari oleh dua perempuan asal Klaten itu. Bagaimana tidak, jika ada orderan Sajiyem bisa mengangkut barang seberat 20 Kg lebih sekali angkut. Demi uang Rp 3.000, dia harus mengangkat barang sampai lantai tiga Pasar Beringharjo.

"Ya, barang apa pun saya terima. Kadang sayuran, beras, terigu, jamu, atau telur dan gula. Kadang hanya sampai lantai dua. Tetapi kadang juga ke lantai tiga. Capek sih iya. Tetapi bagaimana lagi, sudah pekerjaan saya," ujar Sajiyem yang ditemui saat beristirahat di pintu masuk timur Pasar Beringharjo, kemarin.

Saat itu Sajiyem tengah beristirahat dengan beberapa temannya. Beberapa sedot es teh yang dibelinya dari penjual di sekitar pasar, mampu mengurangi rasa letih dan haus setelah beberap jam bekerja. Baik Sajiyem dan Maryanti tidak segan-segan meninggalkan enaknya tegukan es teh manakala ada orderan datang.

Setiap hari, sekitar pukul 05.00, Sajiyem sudah meninggalkan rumah kosnya di daerah Ledok Tukangan ke Pasar Beringharjo. Di kamar kos berukuran 3x4 meter yang disewanya Rp 700 ribu per tahun, dia tinggal bersama sang suami, Gito, 55. Kamar kos itu memiliki fungsi ganda, untuk masak sekaligus tidur.

"Asal saya Klaten. Sejak 1972 saya sudah bekerja sebagai buruh gendong di Beringharjo. Suami saya bekerja sbagai tukang becak di Stasiun Lempuyangan," jelasnya. Demi sesuap nasi, Sajiyem dan suaminya terpaksa meninggalkan ke-4 anaknya di Klaten.

Menurut mereka, di kampung halamannya tidak banyak pekerjaaan yang bisa mereka lakukan. "Saya tidak ingin menjadi pengemis atau orang yang membebani orang lain. Kami tidak punya sawah. Jadi, kami terpaksa bekerja di Jogja. Pada saat anak-anak kecil, mereka dirawat neneknya," tambahnya.

Meski hanya bekerja sebagai buruh gendong dengan penghasilan Rp 10.000 setiap hari, Sajiyem mampu menyekolahkan ke-4 anaknya. Ya, minimal mereka sudah mampu menikmati wajib belajar sembilan tahun. "Anak saya semuanya sekolah. Ada yang tamatan SMA, ada juga yang hanya sampai SMP. Kalau kuliah, tentu kami nggak mampu," tuturnya, seraya tersenyum.

Sementara itu, Maryanti harus meninggalkan anaknya yang berumur sembilan tahun untuk diasuh neneknya di Klaten. Sedangkan suaminya hijrah ke Jakarta untuk mencari rezeki sebagai penjual es. "Kalau hanya di Klaten tidak bisa mencari uang. Paling bisa menjadi buruh tani kalau pas panen. Setelah itu, nggak ada lagi uang yang bisa didapat. Kalau di Jogja, sehari bisa dapat Rp 10.000. Sedangkan jika ramai bisa mendapat Rp 20.000," ujar Maryanti.

Sajiyem dan Maryanti adalah potret Kartini di level bawah yang tidak pernah hilang selama kemikinan masih menyelimuti rakyat. Demi tanggungjawabnya sebagai ibu, perempuan-perempuan ini rela tulang belakangnya harus ditempa berkilo-kilo barang setiap hari. Hanya satu yang ada dalam benak mereka, yakni menjadi orang tua yang bertanggungjawab atas masa depan anaknya.

Status mereka sebagai perempuan bukan penghalang untuk memikul tanggnung jawab menghidupi anaknya dari segi materi. Pendidikan mereka boleh rendah. Namun, setidaknya mereka telah terbebas dari paradigma pemikiran bahwa kaum hawa tergantung pada pria dari aspek manapun.

Hidup seperti mereka tentulah tidak mudah. Namun di tengah-tengah kepenatan fisik dan pikiran, ada saja hiburan untuk menyenangkan diri. Seperti apa yang dilakukan mereka kemarin siang yang bergantian saling memijat. "Kalau badan terasa pegal, ya minum jamu. Atau jika sempat, ya saling pijat dengan teman-teman," ujar Maryanti. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor