Kota Gudeg di Mata Pengemis dan Pengamen

RADAR JOGJA - Harga Makan Murah, Jogja Jadi Surga
Jogja adalah surga dunia bagi kaum gelandangan, pengemis, dan pengamen. Dengan uang Rp 1.500 mereka yang sering disebut sebagai gepeng sudah bisa menyantap nasi plus lauk.

Laila Rochmatin, Jogjakarta
---
INILAH suara dari kaum pinggiran. Suara tentang Jogja. Suara kaum marjinal seperti pengamen, pengemis dan gelandangan. Suara lantang dan jujur tentang kehidupan mereka.

Ya, mereka merasa mendapat banyak kemudahan di kota ini yang tidak mereka dapatkan di daerah lain. Inilah, mengapa jumlah pengamen dan gelandangan di Jogja yang datang dari bebagai kota di Indonesia terus meningkat. Siapa tahu, dengan mendengar suara hati mereka, para pengambil kebijakan pun bisa merumuskan kebijakan yang aspiratif.

Dengan wajah lesu Andi, 17, dan Deni, 22, duduklesehan di teras lobi gedung DPRD DIJ. Ditemani sekitar 20 pengamen dan gelandangan yang tergabung di Sanggar Botagen Klitren mereka ingin mengadu kepada para wakil rakyat.

Mereka yang sebagian besar adalah remaja berusia di bawah 25 tahun mengaku risih dengan rencana diterbitkannya peraturan daerah (Perda) Penanganan Gelandangan Pengemis dan Perlindungan Anak di Jogjakarta. Di mata anak-anak yang sebagian besar berasal dari luar Jogjakarta itu, rencana pemerintahtersebut bukan solusi. Karena mereka terpaksa menjadi pengamen bukan karena malas, melainkan korban sistem ekonomi yang timpang. Atau broken home keluarga.

Andi baru tiga hari datang ke Jogja. Sebelumnya pria yang lahir di Semarang ini mengais rezeki dari satu lampu merah ke lampu merah lain di kota lumpia itu. Namun dia memilih hijrah ke kota gudeg yang terkenal sebagai kota berbeaya hidup murah.

"Jika di Semarang, untuk mendapatkan nasi lauk butuh uang minimal Rp 2.500. Sedangkan di Jogja dengan uang Rp 1.500 sudah bisa memperoleh nasi lauk. Kan murah. Itu salah satu alasan saya hijrah ke Jogja. Alasan ini juga yang membuat banyak pengamen dan gelandangan dari daerah lain datang ke Jogja," ujar Andi.

Di Jogja untuk mendapatkan satu bungkus nasi, seorang pengamen hanya butuh bekerja selama satu jam. Bayangkan jika mereka bekerja selama 12 jam. Berapa uang yang mereka dapatkan setiap harinya. "Biasanya hanya menyanyi satu jam, sudah mendapatkan Rp 1.500," tambahnya.

Anak tamatan SMP itu mengaku tidak memiliki beaya untuk meneruskan pendidikan. Orang tuanya di Semarang hanya seorang buruh serabutan yang tidak memiliki beaya hidup banyak cukup untuk menghidupi ketiga anaknya. "Saya terpaksa menjadi pengamen. Tidak mungkin seorang anak seperti saya memiliki cita-cita hanya menjadi pengamen. Lha orang tua saya tidak memiliki uang untuk beaya sekolah."

Selain Andi, ada juga Aan, 22, remaja asal Malang. Dia datang ke Jogja untuk menjadi pengamen. Remaja tamatan SMP ini juga berpikir Jogja adalah kota paling baik bagi seorang pengamen. Dibandingkan Andi, Aan jauh lebih lama tinggal di Jogja.

"Saya sudah empat tahun tinggal di Jogja. Tidak pernah bekerja selain mengamen, Bersama Andi, kami biasa mangkal di perempatan Galeria," ujar remaja yang mengenakan satu anting di telinganya.

Saat di Malang, Aan sempat bekerja sebagai buruh bangunan. Itupun tidak lama. Merasa penghasilan tidak cukup, dia pun hijrah ke Jogja. Dikatakan, dia sudah mendapat izin orang tuanya untuk menjadi pengamen di Jogja.

"Adik saya dua. Orang tua hanya memiliki warung kecil. Bagi kami sekolah di atas SMP hanyalah angan. Dengan pergi ke Jogja, saya tidak lagi memberatkan orang tua. Yang penting untuk makan saya sudah bisa sendiri," ujar pria yang mengaku pulang ke Malang setiap lebaran.

Selama di Jogja Andi, Aan, dan Deni tinggal di bawah satu atap di daerah Klitren. Dari sebagian penghasilannya sebagai pengamen, ketiganya bersama 20 teman iuran untuk membayar sewa rumah.

Sampai saat ini tidak ada pekerjaan lain d benak mereka selain mengamen. Mereka berprinsip menjadi pengamen jauh lebih sopan daripada meminta belas kasihan orang lain. "Dengan menjual suara dan kemahiran memainkan gitar kami menilai ini leboh sopan dan bermartabat."

Sekarang kaum gepeng di Jogja merasa terancam. Barangkali Jogja tidak lagi menjadi surganya pengamen dan gelandangan. Jika raperda diterbitkan, Sat Pol PP akan jauh lebih tegas menertibkan mereka.

"Kami jujur menolak rencana diterbitkannya perda itu. Begitu diterbitkan pasti ada sanksi yang akan dikenakan. Seharusnya bukan perda yang diterbitkan jika ingin benar-benar mengangkat pengamen dari jalanan. Melainkan program pemberdayaan untuk pengamen dan gelandangan. Saat ini baru sebagian gepeng yang diberdayakan.," ujar Koordinator Gerakan Kaun Jalanan Merdeka Antok.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor