Jika Didiamkan, Kotagede Bakal Jadi Metropolitan

BERNAS JOGJA - Kotagede terkenal hingga macanegera bukan cuma karena perak dan produk kerajinan logam lainnya, melainkan juga karena banyaknya bangunan warisan budaya. Namun, jika didiamkan, Kotagede bakal berubah menjadi metropolitan yang penuh dengan bangunan rumah menjulang.
Hal tersebut dikemukakan ahli heritage dari Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Laretna Adhisakti saat penyerahan hasil renovasi rumah joglo di Cakrayudan, Purbayan, Kotagede, kemarin. Penyerahan ditandai penandatanganan naskah serah terima oleh Rektor UGM, Sudjarwadi, Presiden Direktur Total Indonesia, Philip Erman, dan Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta, H Rapingun.

Rumah milik Mukadi yang dulu digunakan untuk menyimpan pusaka itu sebelumnya nyaris roboh akibat gempa bumi 27 Mei 2006. Perbaikan didanai PT Total Indonesie, perusahaan penanaman modal asing yang sudah 40 tahun beroperasi di Indonesia.
Laretna yang juga koordinator renovasi mengatakan, kondisi Kotagede sebelum dan sesudah gempa sangat jauh berbeda. Kotagede kehilangan banyak kekayaan heritage yang saat gempa mengalami kerusakan dan kemudian dijual oleh pemiliknya yang tidak sanggup melakukan perbaikan.
"Banyak bangunan rumah yang dibeli orang dari luar dan kemudian pindah dari Kotagede. Ini sangat menakutkan," ujarnya.

Menurutnya, hanya sedikit pihak yang membantu pelestarian heritage di Kotagede yang rusak akibat gempa, seperti Total Indonesie dan pemerintah Belanda yang membantu pembangunan 4 rumah. Selain rumah di Cakrayudan, bangunan lain yang sedang dan sudah selesai direnovasi adalah joglo Rumah UGM dan Babon Aniem. Rumah UGM berupa bangunan rumah antik yang juga dijual oleh pemiliknya setelah rusak parak akibat gempa dan kemudian dibeli oleh UGM dan tetap dipertahankan keberadaannya di Kotagede. Pembangunannya didanai Total Indonesie, JICA (Jepang), dan Exxon Mobile (AS).
Sedangkan Babon Aniem berupa bangunan bercorak Indis di pojok Pasar Kotagede yang aslinya gardu listrik. Bangunan tersebut digunakan sebagai Pos Polisi sebelum hancur akibat gempa, dan selanjutnya akan digunakan sebagai pusat informasi Kotagede. Rumah Cakrayudan dikerjakan sendiri oleh masyarakat Cakrayudan dengan bimbingan teknis dari UGM. MoU pihak‑pihak yang membangun dilakukan lebih dari 1 tahun lalu.

"Untuk atapnya digunakan genting yang berbeda dengan umumnya, berbentuk seperti sirap. Karena genting semacam ini tidak ada di pasaran, kita harus pesan secara khusus, tetapi hasilnya tidak sebaik dulu. Ini berarti kita kehilangan keahlian juga," tutur Laretna.
Natsir dari Masyarakat Babon Aniem mengutarakan, tidak kurang dari 27 bangunan rumah yang termasuk heritage di Kotagede terjual dan dipindahkan dari Kotagede. Upaya untuk mempertahankan keberadaannya cukup dilematis bagi pemiliknya.

Sebab, lanjutnya, untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa atau membangun kembali membutuhkan biaya sangat banyak. Demikian pula dengan pemeliharaannya. Walaupun berpindah tempat, beberapa bangunan masih bisa dipertahankan keberadaannya di kawasan Kotagede, karena dibeli orang Kotagede sendiri. "Sudah sejak 10 tahun lalu kita minta pemerintah untuk memperjelas kawasan cagar budaya Kotagede. Sebab sebagian masuk wilayah Kota Yogyakarta, sebagian kawasan masuk Kabupaten Bantul," ucapnya.

Ketua RW 09 Cakrayudan, Purbayan, Akhid Rahmanto menyampaikan, rumah Cakrayudan selama ini digunakan untuk rembug warga Cakrayudan. Setelah selesai diperbaiki, rumah tersebut akan kembali dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan masyarakat sekaligus Kantor RW. (fir)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor