Pola konsumsi warga DIY bergeser

HARIAN JOGJA: Orientasi konsumsi masyarakat Yogyakarta bergeser dibanding era 1980 dan 1990an. Saat itu mayoritas masyarakat Yogyakarta masih melirik produk nasional, kini cenderung beralih ke produk internasional (luarnegeri). Demikian salah satu poin dari hasil polling yang dilakukan tim peneliti Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Impulse) bekerjasama dengan Harian Jogja.
“Dari 125 responden cluster sampling, hanya 49,6% yang mengaku memilih berbelanja di pasar tradisional,” ungkap Hani Raihana, peneliti Impulse, dalam diskusi membahas hasil polling itu, di kompleks percetakan Kanisius, Depok, Sleman, Jogja.

Dijelaskan, responden diambil menyebar di empat kabupaten dan satu kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seperempat responden memilih menjawab netral dan 14% mengaku setuju, saat ditanya kegemaran membeli barang sandang bermerk luar negeri.
Sedangkan separuh respoden juga menjawab lebih senang menyantap fast food dan makanan sejenis bergaya luar negeri.
Menanggapi hasil survei itu, ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Indra Bastian, menilai gejala itu merupakan pergeseran pola konsumsi warga di Jogja. “Ini luar biasa. Ada perubahan besar di Jogja, antara lain akibat keterbukaan internasional,” kata Indra.
Menurut dia, gejala konsumsi masyarakat yang kebanyakan menjawab netral, ketimbang memilih setuju atau tidak setuju, menunjukkan kecenderungan masyarakat menerima hal itu.
“Netral bermakna cenderung mengiyakan, tapi tidak mau berpendapat,” jelasnya. Gejala itu, tambahnya, mirip dengan apa yang terjadi di masyarakat Bali pada era 80an.
Datangnya wisatawan dari negeri modern beserta gaya hidup mereka, bahkan telah membikin warga di Pulau Dewata itu bergeser gaya konsumsinya, hingga level behaviour.

Dia menengarai, internasionalisasi dan hilangnya sekat batas antarnegeri konsumsi warga Jogja disebabkan gencarnya pencitraan di media massa, terutama televisi. “Awalnya hanya ke level koginitf, tapi sekarang ini sudah masuk level persepsi,” ujarnya.
Dalam level persepsi itu, sebenarnya warga masih bisa dialihkan ke konsumsi lokal, asal potensi lokal itu memiliki kualitas dan standar yang sama. “Contohnya, dulu ada Dunkin Donuts, masyarakat menjadikannya ikon donat. Sekarang ada produk lokal J-co, dengan kualitas rasa dan kemasan sebanding, masyarakat pun langsung berubah ikon ke donut produk lokal,” kata dia.
Sedangkan Direktur Impulse, Gutomo Priyatmono, mengganggap gaya konsumen Jogja telah termakan pengaruh pengkerdilan daya kritis konsumen oleh gaya pemasaran global. “Ini bukan hanya terjadi di Jogja, tapi fenomena negara berkembang, Amerika latin dan Asia pada umumnya, “ kata pria yang akrab dipanggil Tommy ini. “Iklan paling berkontribusi dalam pergeseran nilai ini.”
Iklan dan pencitraan di media, kata Gutomo, membuat perilaku warga dibentuk untuk melayani keinginan konsumsi di luar konteks kebutuhan. “Ada proses pematian daya kritis secara sistematis,” ujarnya.

Internasionalisasi konsumerisme itu, sepanjang masih tahap persepsi, masih bisa dibendung lewat kejelian pengusaha lokal dalam membentuk citra produk setaraf dengan ikon produk yang sudah menjadi gaya hidup.
“Starbucks, kopi dari Amerika itu, sebenarnya hanya kopi dari Aceh. Kalau ada cafe memiliki kualitas sama, packaging sepadan dan kualitas seimbang, pasti akan menggeser brand utama seperti Starbucks,” kata Tommy.
Setali tiga uang, Indra juga menekankan pada strategi marketing dan packaging bagi pengusaha lokal. Produk tradisional dan lokal yang memakai strategi marketing lokal-tradisional dan tanpa proses pencitraan merk, kata dia, bakal tergeser jika tidak mau berubah mengikuti standar internasional.
Sebaliknya, peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Robert B Baowollo, menyangsikan strategi melawan hegemoni pasar yang sudah demikian kuat.
“Kita belum punya branding yang secara kekuatan modal bisa melawan. Melawan globalisasi harus memakai kapital,” katanya.

MENJADI INDONESIA: Suasana diskusi membahas hasil polling 'Menjadi Indonesia' hasil kerjasama
Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Impulse) bekerjasama dengan Harian Jogja, yang dilakukan di kompleks percetakan Kanisius, Depok, Sleman, kemarin. Harian Jogja/Ist

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor