Ekspor Kerajinan Bambu Terhenti

HARIAN JOGJA - MLATI: Perajin bambu di Sleman mulai merasakan imbas krisis ekonomi global. Selama dua bulan terakhir, pesanan dari luar negeri berkurang drastis. Bahkan sejumlah perajin mengaku tidak lagi menerima pesanan untuk pasaran luar negeri. Berdasarkan pantauan Harian Jogja di sentra industri kerajinan bambu Sendari, Desa Sumberadi, Kecamatan Mlati, beberapa perajin mengaku kini mereka hanya mengandalkan pasar lokal untuk menjual hasil kerajinan. Radiyono (41), salah satu perajin bambu menyatakan, pesanan dari luar negeri menurun sejak peristiwa bom Bali pada 2005. Penurunan itu semakin drastis menyusul terjadinya krisis ekonomi global.

“Bulan ini sama sekali belum ada pesanan dari buyer (pembeli) asing. Beberapa tahun terakhir, pesanan dari luar negeri memang cenderung menurun. Tapi sejak sekitar satu atau dua bulan lalu, pesanan semakin menurun drastis. Padahal, dulu ekspor kerajinan bambu dapat kami andalkan, tapi sekarang situasinya sudah beda,” ujarnya saat ditemui Harian Jogja , Selasa (25/11) kemarin.

Menurut perajin meubel bambu itu, saat pesanan dari luar negeri masih cukup ramai, dia mampu mengirim satu hingga dua kontainer tiap bulan. Untuk satu kontainer berisi 50 set meubel bambu. Namun kini, seandainya ada buyer asing yang memesan, paling banter dia hanya mengirimkan beberapa set meubel. Padahal, imbuhnya, pendapatan dari ekspor kerajinan cukup banyak. Satu kali pengiriman ke luar negeri mampu menghasilkan hingga Rp25 juta. “Saya biasanya mengekspor ke Malaysia, Amerika Serikat (AS), dan beberapa negara di Eropa,” terang dia.

Sri Rahayu (38), perajin bambu yang biasa membuat kerajinan anyaman juga mengungkapkan hal yang sama. Selepas Lebaran, tidak ada satupun pesanan anyaman dari luar negeri. Sebelum pesanan dari luar negeri sama sekali kosong, menurutnya ekspor anyaman hanya sebesar 10% dari total produksi. Meski volumenya hanya sedikit, namun nilai jualnya jauh melebihi nilai jual di pasar lokal.

“Kalau sedang normal, hasil dari pasaran lokal hanya sekitar Rp5 juta. Tapi, hasil ekspor bisa mencapai Rp15 juta. Tapi sekarang kami tidak lagi mengekspor karena tidak ada pesanan,” tuturnya.

Penurunan permintaan dari luar negeri memaksa perajin bambu mengoptimalkan pasar lokal. Sejumlah perajin mengaku semakin memperbanyak varian kerajinan untuk menyiasati turunnya ekspor. Sri Rahayu mengaku dia tengah mengembangkan kerajinan meubel dari bambu yang lebih variatif untuk memikat minat pembeli lokal. Hal serupa juga dilakukan Paidi (40). “Saya berusaha membuat hasil kerajinan bambu lebih tahan lama. Karena kebanyakan pembeli menghendaki bambu yang tidak cepat lapuk. Kini kami menggunakan beberapa bahan untuk mengawetkan bambu,” paparnya.

Terpisah, Pustopo, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan Penanaman Modal (P2KPM) Sleman menyatakan, nilai ekspor terbesar Sleman adalah ke AS. Sejak awal 2008, ekspor ke negara itu terus menurun. Dari Januari hingga Mei, nilai ekspor ke AS sekitar $3 juta-$4 juta. Sementara, pada Oktober, nilai ekspor ke negeri Paman Sam hanya sebesar $1,7 juta. “Kami akan mensosialisasikan kepada pengusaha untuk menggunakan bahan baku dalam negeri, dan juga menghimbau kepada masyarakat agar menggunakan produk dalam negeri,” ucapnya.

Oleh Budi Cahyana
Harian Jogja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor