Penarikan Minah Ditunda

HARIAN JOGJA: Pemprov DIY dan PT Pertamina regional IV Jateng dan DIY bersepakat menunda penarikan minyak tanah (minah) bersubsidi sampai 2010. Bahkan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) DIY akan segera mengirimkan surat pemberitahuan penundaan penarikan minah bersubsidi ke BPH Hilir dan Dirjen ESDM. “Kami sebelumnya sudah mengirimkan surat ke pemerintah pusat perihal penundaan ini, tapi belum ada jawaban. Untuk itu kami akan mengirimkan surat lagi langsung ke lembaga bersangkutan,” kata Fabianus Koesdarto Pramono, Kepala Disperindagkop DIY, di depan Komisi B DPRD DIY, PT Pertamina Regional IV Jateng dan DIY, dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) DIY, di Ruang Komisi B DPRD Provinsi, kemarin.

Penundaan tersebut, menurut Koesdarto berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa masih banyak masyarakat yang membutuhkan minah, terutama para perajin.

Area Sales Manager PT Pertamina Regional IV Jawa Tengah dan DIY, Arie Anggara mengatakan, penundaan penarikan minah bersubsidi harus diketahui oleh BPH Hilir dan Dirjen ESDM.

“Untuk itu surat penundaan dari pemprov DIY tidak hanya diserahkan kepada Pertamina, tapi juga ke BPH Hilir dan Dirjen ESDM. Karena yang berwenang dalam hal ini kedua institusi tersebut,” kata Arie.

Konversi gagal
Menurut Pertamina, sampai saat ini baru Sleman dan Kota Jogja yang 100% sudah menjalankan program konversi minyak tanah ke gas. Sementara, di Bantul baru berjalan 90%, Gunungkidul berjalan 80% dan Kulonprogo sebanyak 60%.

Akibat pelaksanaan konversi, stok minah bersubsidi di Gunungkidul saat ini hanya berkisar 540 kiloliter dari jumlah sebelumnya 880 kiloliter. Di Kulonprogo terdapat 735 kiloliter minah dari total pasokan sebelumnya 1.080 kiloliter dan di Bantul 45 kiloliter atau 2% dari alokasi awal 2085 kiloliter. Sedangkan di Sleman yang sebelumnya mencapai 3.562 kiloliter dan Kota Jogja sebanyak 2.500 kiloliter, saat ini stok minah bersubsidi nol liter.

Sementara itu, data Disperindagkop DIY mencatat kebutuhan minah bersubsidi di DIY per tahun mencapai 115.487.000 liter atau sebanding dengan 66 juta tabung elpiji 3 kilogram.

“Kalau dalam hitungan bulan, tingkat kebutuhan gas DIY mencapai 5.531.010 kilogram isi 3 kilogram, atau setara dengan 9,9 kilogram per hari. Sebagai rujukan, 1 kilogram elpiji sama dengan 1,47 liter minah,” jelas Koesdarto.

Sampai saat ini tabung isi 3 kilogram yang berhasil dibagikan PT Pertamina dari November hingga Oktober mencapai 554.765 tabung. Padahal jumlah penduduk miskin yang berhak atas program konversi sebanyak 275.110 KK, dari jumlah total penduduk DIY 3,25 juta orang.

“Kondisi ini yang menyebabkan program konversi gagal. Banyaknya tabung gas yang beredar di pasaran adalah faktor yang menggagalkan program konversi. Program ini menjadi bias. Sasaran program yakni orang miskin dengan penghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan dan memakai minah, akhirnya gagal,” tegas Koesdarto.

Kecerobohan ini juga telah menyebabkan kelangkaan tabung elpiji 3 kilogram di masyarakat, karena perbedaan harga dengan tabung lainnya.

“Selain itu, banyak sekali kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah dan Pertamina terkait dengan program tersebut. Diantaranya, banyak tabung yang ventilator dan pipanya memiliki kualitas rendah,” tukas dia.

Koesdarto secara lugas menyatakan bahwa pemerintah pusat dan Pertamina gagal menjalankan program konversi. “Banyak sekali kelemahan yang dilakukan pemerintah dan Pertamina terkait dengan program konversi. Di antaranya, banyak tabung yang ventilator dan pipanya berkualitas rendah,” tukas dia.

Menurut Koesdarto, pihaknya mencatat saat ini harga per kilogram isi tabung gas elpiji isi 3 kilogram seharga Rp4.250 per kilogram atau sebesar Rp12.750 per tabung. Sementara ukuran 12 kilogram seharga Rp5.750 per kilogram atau sebanyak Rp69.000 per tabung.

Jumlah tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan isi gas tabung 50 kilogram yang dijual sebesar Rp7.225 per kilogram atau sebesar Rp362.750 per tabung. Dan untuk isi curah dijual Rp8.430 per liter.

Di Sleman, kelangkaan gas sudah mulai mencekik warga. Beberapa toko pengecer bahkan sudah mulai menolak pembeli karena tidak ada stok.
Marsono (53) pemilik toko Merapi di Denggung, Sleman mengaku, sejak satu minggu yang lalu ia belum juga mendapat pasokan gas. Puluhan tabung gas dibiarkan kosong di tokonya.
“Biasanya pasokan datang setiap dua hari sekali dan itu selalu laris manis diserbu pembeli, namun sejak 7 Desember sampai sekarang belum ada stok. Pasokan gas di Sleman benar-benar macet total,” katanya kepada Harian Jogja, kemarin.
Sebagai pengecer, Marsono mengaku pasrah. Kondisi ini juga disebabkan oleh minimnya jumlah distributor gas di Sleman.
“Meski kondisi serba sulit, kami tak menaikkan harga. Kami tetap mematok harga Rp.13.200 untuk gas 3 Kg,” tambahnya.
Heri (35) seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jl. Merapi, Sleman yang setiap hari memakai gas mengaku kesulitan dengan kondisi saat ini, bahkan, jualannya terancam gulung tikar karena gas tidak ada.
“Jualan saya sangat tergantung dengan gas. Tapi, agar bisa melanjutkan hidup, saya sudah siapkan minyak tanah,” ujarnya.

Oleh Jumali & Rina Wijayanti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor