PENOLAKAN RUU BHP, TAK SEKADAR SOAL PENDANAAN; Pendidikan Belum SiapHadapi Persaingan

YOGYA (KR) - Penolakan terhadap Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dilakukan oleh beberapa kalangan tidak hanya terkait masalah pendanaan, tapi juga sistem pendidikan. Kekhawatiran terjadinya kompetisi dalam dunia pendidikan yang mengarah pada liberalisasi secara tidak langsung menjadi alasan mereka untuk menolak RUU BHP.

Untuk mengatasi persoalan itu tidak ada salahnya jika sistem (konsep) pendidikan di Indonesia kembali pada ajaran Ki Hadjar Dewantara yang mengedepankan kombinasi, bukan sekadar kompetisi.
"Saya khawatir kalau RUU BHP benar-benar disahkan justru terjadi kompetisi yang kurang sehat, akibatnya sekolah hanya milik golongan tertentu. Jadi penolakan yang dilakukan oleh berbagai yayasan itu tidak hanya sekadar setuju atau tidak, tapi lebih pada idealisme pendidikan," kata Rektor Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa, Prof Dr Djohar MS saat ditemui KR di ruang kerjanya, Kamis (11/12).
Djohar menambahkan, sebelum pemerintah memutuskan untuk mengesahkan RUU BHP menjadi Undang-undang, tidak ada salahnya jika mereka memikirkan dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Seperti kemungkinan terjadinya liberalisasi dan perubahan sistem pendidikan. Sebab jika tidak diantisipasi sejak awal keberadaan RUU BHP justru menimbulkan persoalan baru bagi dunia pendidikan. Apalagi kualitas SDM dan mutu pendidikan di Indonesia saat ini masih perlu terus ditingkatkan.
"Seandainya RUU BHP benar-benar disahkan menjadi UU, bisa membawa banyak perubahan dalam dunia pendidikan. Perubahan di sini tidak hanya terkait dengan model pengelolaan yang cenderung menggunakan sistem perusahaan yang mengarah pada persaingan. Padahal pendidikan tidak hanya berorientasi persamaan, tapi lebih pada kebersamaan yang menjunjung tinggi kebudayaan seperti sistem among yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara," papar Prof Djohar.
Ditambahkan, sebenarnya persaingan dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang wajar, apalagi di era globalisasi seperti sekarang. Kendati demikian bukan berarti harus mengorbankan idealisme dan sistem yang sudah dianut oleh para pendahulu.
"Saat ini adalah momentum yang tepat untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar ke depan tidak didominasi pihak luar. Konsekuensinya segala sesuatu harus diselesaikan dengan model kolaborasi, bukan sebaliknya kompetisi yang kurang sehat," tandasnya.
Terpisah, Ketua Dewan Pendidikan Sleman Drs Purwanto MPhil mengaku tidak bisa menyatakan setuju atau tidak dengan RUU BHP yang kini menjadi pro kontra. Dia beropini, ini merupakan dampak dari globalisasi yang bisa berimbas pada pencaplokan dunia pendidikan oleh asing. "Jika nantinya RUU ini benar-benar disahkan, tidak menutup kemungkinan akan ada kapitalisme pendidikan," katanya.
Purwanto mengaku, saat ini kualitas pendidikan di Indonesia tidak bisa dikatakan siap untuk menerima terpaan dari dunia luar. Ini terlihat dari dosen di perguruan tinggi yang masih banyak lulusan S1. Bahkan mereka juga mengajar di Pascasarjana.
Di sisi lain ditambahkannya, orientasi masyarakat untuk menempuh pendidikan masih sebatas mendapatkan ijazah. "Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya kasus ijazah palsu," terang Purwanto.
Dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM ini menambahkan, secara kualitas maupun kuantitas, pendidikan di Indonesia belum bisa bersaing dengan pendidikan di luar negeri. Kalaupun ada, itu bisa dihitung dengan jari dan yang mendominasi perguruan tinggi besar dan sudah mempunyai jaringan dengan luar negeri.
Menurut Purwanto, ini bisa dilihat dengan kualitas perpustakaan yang dimiliki tiap-tiap perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan mencari buku sebagai bahan ajar kuliah, karena tidak menemukannya di perpustakaan. (Ria/*-9)-g

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor