Penolakan UU BHP Masih Berlanjut: Aksi Lempar Telur di Unsoed

YOGYA (KR) - Aksi penolakan terhadap UU Badan Hukum Pendidikan masih berlanjut di berbagai daerah, Jumat (19/12). Di UGM, aksi ini mewarnai puncak peringatan Dies Natalis ke-59 UGM dalam rapat di Grha Sabha Pramana (GSP). Aksi serupa juga dilakukan puluhan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Sedang BEM dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta kemarin menemui Dirjen Dikti Depdiknas Fasli Jalal. Di UGM, aksi penolakan UU BHP dilakukan Dema Justicia Fakultas Hukum dan BEM FMIPA UGM.

Dalam aksi kali ini mahasiswa mendesak Rektor UGM untuk menolak UU BHP. Selain orasi, mengusung poster dan spanduk juga mengusung keranda hijau sebagai simbol duka cita atas disahkannya UU BHP. ”Mahasiswa menolak secara tegas disahkannya UU BHP dan itu seharusnya juga dilakukan oleh UGM yang telah berusia 59 tahun,” kata Putu Timoti, mahasiswa Fak Hukum UGM selaku koordinator aksi. Dalam aksi tersebut mahasiswa berusaha masuk ke ruang upacara tetapi dihadang SKK UGM dengan aksi duduk. Mahasiswa berusaha mendorong tetapi SKK bertahan, sehingga terhindar dari bentrokan. Setelah tidak ada perlawanan dari SKK dan kecewa tidak mendapat tanggapan dari Rektor UGM, para mahasiswa akhirnya berusaha merangsek masuk GSP. Para aktivis mengakhiri aksi dengan tabur bunga. Lempar Telur Sementara itu mahasiswa Unsoed menggelar aksi di halaman kantor rektorat setempat. Bahkan, aksi lempar telur ayam juga dilakukan terhadap lambang sejumlah partai politik yang ditengarai berperan mengesahkan UU BHP. Mereka yang tergabung dalam Presidium BEM KBM Unsoed itu menuntut pemerintah segera mencabut UU BHP. Menurut mereka, UU BHP berpotensi menimbulkan komersialisasi dalam pendidikan.

”Dalam UU BHP, pembiayaan tidak diatur secara jelas, ini yang menjadi peluang adanya komersialisasi pendidikan,” teriak Khairurrizqo. Dijelaskan, selain menolak penerapan UU BHP, mereka juga mendesak dilakukannya judicial review Undang-Undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Juga mengajak masyarakat untuk ikut menolak komersialisasi pendidikan. ”Kami juga minta Pemkab Banyumas dan Unsoed menolak UU BHP,” tegasnya. Dirjen Dikti Fasli Jalal, didampingi Hendarman (Direktur Kelembagaan), Johanes Gunawan (Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi) saat menerima BEM dari berbagai perguruan tinggi menjelaskan, UU BHP tidak mengatasi semua masalah pendidikan. ”Tetapi undang-undang ini menjawab beberapa masalah yang cukup penting di satuan pendidikan tinggi,” tegasnya.

Dijelaskan, beberapa masalah pendidikan yang diatur cukup tegas dalam undang-undang ini, kata Fasli, antara lain otonomi satuan pendidikan, manajemen pendidikan, penerimaan mahasiswa baru dan pembiayaan pendidikan. Dengan undang-undang badan hukum pendidikan, menurutnya, perguruan tinggi menjadi badan hukum yang mengelola pendidikannya secara otonom. Perguruan tinggi juga dibolehkan mengatur sistem pendidikan yang diinginkan. Namun, meski otonom, perguruan tinggi tidak bisa seenaknya menerima mahasiswa. Ada aturan yang tertulis dalam undang-undang badan hukum pendidikan yang mengatur perguruan tinggi hanya dapat menerima mahasiswa sesuai kapasitasnya. Penolakan UU BHP juga dilontarkan berbagai pihak yang dihubungi KR secara sepihak. Menurut Presiden BEM UGM, Budiyanto, sebelum UU BHP disahkan pihaknya sudah sepakat untuk melakukan penolakan. Pasalnya dengan adanya UU BHP paradigma pendidikan yang awalnya bertujuan untuk mencerdaskan jadi bergeser. Kondisi itu tidak hanya berdampak pada mahalnya biaya pendidikan, tapi juga masuknya intervensi asing dalam pengambilan kebijakan.

”Keberadaan UU BHP cepat atau lambat akan mempengaruhi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Memang untuk saat ini dampaknya belum begitu terasa, tapi sebagai konsekuensi anggota WTO pemerintah akan mengurangi subsidi di bidang pendidikan,” kata Budiyanto, seraya menambahkan, lahirnya BHP tanpa disadari telah membuka peluang bagi pihak asing dalam pengambilan kebijakan. Penolakan senada disampaikan Taufik S dari UAD. Menurutnya, keberadaan UU BHP dikhawatirkan dapat berimplikasi pada mahalnya biaya pendidikan. Jika hal itu terjadi berarti pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk menyediakan penyelenggaraan pendidikan berkualitas bagi seluruh warga negara, karena jelas akses pendidikan menjadi terbatas.

”Pemerintah mestinya mengurusi bagaimana agar sistem pengajaran yang ada supaya bisa diterapkan pada kebutuhan pasar kerja di lapangan. Apalagi, selama ini sistem pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi masih belum aplikatif. Sehingga, kualitas lulusan belum bisa terserap dengan baik oleh pasar kerja,” kata Taufik. Meski dirinya tidak secara detail mencermati keberadaan UU BHP, tapi pihaknya jelas menolak jika keberadaan BHP justru menjadikan pendidikan semakin mahal. Apalagi, jika ada intervensi asing dalam hal pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi dikhawatirkan kualitas pendidikan bisa kena imbasnya. Karena itu, ia berharap agar UU BHP bisa dikaji lebih cermat dan tepat. Rektor Ukrim, George Iwan Marantika MBA menyayangkan UU BHP terburu-buru disahkan, sementara masih banyak pimpinan perguruan tinggi yang belum memahami isinya. ”Apa isi dari UU itu sendiri, belum jelas. UU BHP sangat lemah, karena aspek sosialisasi terabaikan,” tambah George. (Tim KR)-a (Asp/*-1/Ati/Rsv/Ria/M-1/Fie)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor