Mereka Yang Masih Bersemangat Belajar Tembang Jawa

Warisan HB VII, Dulu untuk Sentono, Kini Umum
RADAR JOGJA - Di tengah maraknya industri musik dengan lagu berbagai aliran, sejumlah anak muda setia menekuni tembang-tembang Jawa (macapat). Tak hanya sekadar usaha untuk nguri-uri budaya warisan leluhur, mereka juga berusaha menggali makna di balik temban-tembang itu.

Jam menunjuk pukul 14.00, Winta Tridhatu Satwikasanti bergegas memarkir Honda Tiger-nya persis di utara Ngejaman, Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dara berambut sebahu, bercelana jins hitam, berjaket jins biru dan berkacamata itu, setengah berlari langsung masuk ke sebuah bangunan sederhana di Jalan Rotowijayan No 3, persis beradu sudut dengan Gadri Resto milik kerabat Keraton Jogja.

Dari ruang berukuran 3 x 4 meter di bangunan yang sederhana itu, sayup-sayup terdengar lantunan tembang-tembang Jawa. Belasan orang, satu di antaranya perempuan, serius mengikuti instruksi seorang "guru" melantunkan Dhandanggula, Turulare Laras, Pelog Manyura, kemudian Pelog Barang dan beberapa tembang lainnya. Tembang- tembang itu terdengar merdu di antara rintik-rintik hujan yang turun petang itu.

Nampaknya, Winta sedikit ragu saat hendak masuk. Maklum, dia sudah terlambat lebih dari setengah jam. Jam 15.30, seharusnya dia sudah masuk ke ruang pamulangan sekar (macapat) itu. Dengan sikap santun dan isyarat meminta izin, Winta akhirnya masuk dan bergabung dengan yang lain. Sesaat kemudian, suara nyaringnya mewarnai koor melantunkan beberapa tembang bersama belasan orang lain di dalam.

Seorang lelaki berumur yang mengenakan batik lengan pendek dengan telaten memandu melantunkan tembang-tembang itu berulang-ulang. Memberikan contoh tembang yang benar, membetulkan kesalahan saat ada yang salah dan kurang tepat melantunkan. Sesekali dia memberikan contoh nembang yang benar.

Lantaran berada di tepi jalan, tak heran jika lantunan tembang-tembang Jawa itu menggoda setiap pejalan kaki yang melintas di depan gedung untuk menoleh. Tak sedikit, mereka yang hendak menuju Keraton Jogja itu terhenti sejenak, melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruang itu.

Dan setelah jam menunjuk pukul 17.30, belasan orang yang berada di ruang itu keluar. Keluarnya belasan orang itu sedikit mengusik perhatian. Pasalnya, sebagian besar di antaranya ternyata anak-anak muda. Mereka berdandan ala anak muda, berjins, kaos oblong dan berjaket. Termasuk tentu saja Winta, satu di antara dua perempuan sore itu.

Itu adalah pemandangan di Pamulangan Sekar (Macapat) KHP Kridha Mardawa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Jalan Rotowijayan No 3 Kecamatan Kraton. Di tempat ini, setiap sore belasan orang belajar macapatan. Belajar melantunkan tembang- tembang Jawa warisan leluhur. ''Pamulangan (kursus, Red) ini sudah berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun lalu,'' kata Dwijo Cipto Mardawa, guru pengajar macapat itu.

Konon, ini semula diawali Sultan HB VII, ditujukan untuk para sentono di dalam keraton. Sejak HB VIII diteruskan untuk para sentono sampai para abdi dalem. Baru setelah HB IX, pembelajaran ini ditujukan juga untuk masyarakat umum. Dan itu berlangsung hingga sekarang, termasuk yang berlangsung ini.

Dwijo sendiri semula juga murid di pamulangan ini. Setelah menamatkan semua tingkatan, sejak 1994, kakek yang tinggal di Mlati, Sleman, ini dipercaya menjadi guru. Sejak itulah, setiap hari dengan mengayuh sepeda onthelnya, dia harus mendatangi tempat kursus ini. Pesertanya sendiri beragam. "Ada warga biasa, pensiunan, pegawai, mahasiswa, dosen bahkan mahasiswa dan dosen asing," terangnya.

Untuk hari Senin dan Kamis, ditujukan untuk macapat tembang cilik. Selasa dan Jumat untuk tembang tengahan. Sedangkan Rabu dan Sabtu, untuk tembang-tembang gede. Dan untuk menyelesaikan satu tingkatan itu dibutuhkan waktu sekitar setahun. Tentu saja tergantung dari kemampuan masing-masing peserta.

Bagi Winta, keikutsertaannya dalam kursus ini banyak alasan. Sebelumnya, dia sempat belajar tembang-tembang Jawa. Meskipun masih di tingkat dasar. Lantaran harus kuliah desain di ITB, kursusnya terhenti. Dan setelah lulus dan kini menjadi dosen di UKDW, Winta melanjutkan kursusnya itu di sela rutinitasnya.

''Selain untuk nguri-uri budaya, saya merasakan ketenangan saat mendengarkan dan melantunkannya," terang wanita yang tinggal di Terban ini. Pengakuan senada disampaikan Janu. Pemuda asal Imogiri, Bantul, yang kini bekerja di sebuah kontraktor ini mendapatkan banyak hal positif dari pembelajaran macapat ini.

Selain bisa "nembang Jowo", setelah tahu isinya, dia mendapatkan banyak pelajaran berharga. Banyak ilmu pengetahuan yang dia dapatkan dari tembang- tembang itu. Beruntung, sejak kecil Janu sudah terbiasa mendengarkan tembang-tembang Jawa ini. Saat bayi, ketika ditinggal ibunya nyuci, untuk menghiburnya orang tuanya selalu memutar kaset tembang-tembang Jawa ini. ''Apalagi sekarang aku ikutan juga grup keroncong, jadinya menambah kemampuan," terangnya.

Nah, kalau mereka masih mencintai budaya warisan leluhur itu, bagaimana dengan kita. Bagaimana dengan anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah. Karena memang tak hanya sekadar tembang saja, tentu akan lebih baik jika pembelajaran macapatan semakin banyak diajarkan di sekolah-sekolah semua tingkatan.

Selain macapatan, di tempat kursus ini sebenarnya juga mengajarkan baca tulis huruf Jawa. Sayangnya, kursus ini tak ada peminatnya. Setahun, belum tentu ada satu peserta. ''Saya tidak tahu. Mungkin dianggap karena sinau boso Jowo tidak nguripi. Walaupun sebenarnya disayangkan, karena nanti bisa saja tidak ada lagi anak-anak dan generasi muda yang bisa baca tulis huruf Jawa ini," kata Dwijo.

MIFTAHUDIN, Jogja


Bantah Awal Koalisi PKS-Demokrat
Mendagri Resmikan Masjid, Hidayat Pidato Dua Bahasa


RADAR JOGJA - Ketua Dewan Pembina Yayasan Masjid Raya Al-Muttaquun Hidayat Nur Wahid membantah tudingan bahwa sumbangan Rp 1 miliar dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk pembangunan masjid itu sebagai implementasi awal koalisi Partai Demokrat-PKS dalam pilpres. Hidayat yang juga ketua MPR ini juga menolak dikatakan ada hubungan politis antara SBY dengan masjid tersebut.

''Pak SBY bukan penyumbang awal dan terbanyak. Kalau ada hubungannya (politis) pasti beliau datang ke sini,'' ujar Hidayat Nur Wahid kepada wartawan di sela-sela peresmian pembangunan Masjid Al-Muttaquun di Prambanan, kemarin. Masjid dan Islamic Centre itu diresmikan Hidayat Nur Wahid bersama Mendagri Mardiyanto dan Kepala Kementrian Islam dan Badan Waqaf Qatar Mohamed Bin Hamad Ajlan Al-Kawari.

Menurut Hidayat, penyumbang awal masjid yang terletak di sebelah selatan Candi Prambanan itu adalah Imam Masjid Nabawi Seikh Shalah lbn Muhammad Al Budair. Sumbangan awal sebesar USD 5 ribu digunakan untuk peletakan batu pertama. Baru setelah itu mendapat suntikan dana dari SBY Rp 1 miliar dan Kementerian Islam dan Badan Waqaf Qatar sebesar USD 1 juta.

''Kalau orang mengaitkan dengan politis, ya tentu selalu ada. Tapi yang jelas, ini bukan karena politis, melainkan komitmen untuk membangun kembali masjid yang rusak karena gempa,'' ujar Hidayat. Hadir dalam acara ini, Wakil Ketua Persatuan Ulama Dunia Kholid Hasan Hindawi, Gubernur Jateng Bibit Waluyo, Ketua MUI Jateng Habibullah Idris, dan muspida Klaten.

Masjid yang tampak megah itu mempunyai tiga lantai dan berdiri di atas tanah seluas 1.700 m2, sekaligus digunakan sebagai Islamic Centre yang dinamai Asy Syaikh Jasim Bin Muhammad Al Tsani. Masjid ini menjadi tempat mengaji Hidayat sewaktu remaja dulu di Desa Ngangkruk, Kebondalem Kidul, Prambanan.

Hidayat yang dalam pidatonya menggunakan dua bahasa (Indonesia dan Arab) menyatakan, terbangunnya masjid menjadi kesempatan monumental bagi setiap umat Islam. Masjid senilai Rp 12 miliar itu diharapkan mampu menunjang wisatawan yang pada umumnya menjadi pengunjung Candi Prambanan. Lokasi strategis juga diharapkan mampu menampung para musafir.

Arsitektur masjid terdiri atas beberapa gabungan ornamen masjid-masjid besar yang ada di Indonesia dan manca. Di antaranya kubah merupakan gabungan dari Masjid Sunan Kalijaga Demak, Masjid Keraton Solo dan Jogja. Menara setinggi 50 meter disesuaikan dengan Masjid Nabawi di Masjidil Haram Arab Saudi, sedangkan pintu gerbang dibangun menyerupai gerbang Masjid Qordova.

Ketua Umum Yayasan Masjid Al-Muttaquun Abdul Hakim menambahkan, masjid yang pembangunannya dimulai bulan November 2008 ini, rencana awalnya akan dibangun juga sarana listrik tenaga surya dan daur ulang air wudlu. Bahkan sarana pengolahan limbah kotoran menjadi pupuk dan metana untuk menghidupkan lampu taman.

Selain masjid dan ruang untuk Islamic Centre, di belakang bangunan utama juga dibangun gedung serba guna yang disediakan untuk olahraga, seminar, pernikahan dan pertemuan lainnya. Pembangunan masjid di perbatasan DIJ-Jateng ini disambut positif pengelola Candi Prambanan

Kepala Unit Candi Prambanan Bambang Subandono mengatakan, di kawasan candi Hindu itu sudah disediakan masjid untuk umat Islam. ''Keberadaan masjid raya ini semakin memperkaya sarana candi. Selain bisa dimanfaatkan oleh pengunjung," katanya. (yog)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Terekam CCTV, Napi Asimilasi Ini Curi Uang dan Rokok di Pasar Sleman

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir