PERDAGANGAN EKSPOR STAGNAN ; Pengusaha Fokuskan 'Buyer' Lokal

YOGYA (KR) - Sejak terkena dampak krisis finansial global, perdagangan ekspor dari Yogyakarta hingga saat ini belum pulih, bahkan cenderung mengalami stagnasi. Untuk menyiasati lesunya pasar ekspor, para pengusaha mencari pasar lokal dan menggenjot potensi dalam negeri.
"Order furniture untuk ekspor secara umum masih stagnan karena faktor krisis global belum pulih. Jadi untuk sementara ini kami fokus terhadap buyer lokal dan sebagian lagi mencari pasar wilayah Asia, seperti Malaysia dan Taiwan," ungkap pemilik Art Furniture and Antique Mutiara Muhammad Baabud kepada KR, Senin (11/5).

Muhammad Baabud mengatakan, perdagangan ekspor khususnya jenis mebeler sebenarnya banyak terserap di wilayah Eropa dan Amerika. Namun demikian, karena negara tersebut sedang mengalami krisis keuangan global yang berimbas pada menurunnya permintaan, pihaknya harus mencari potensi pasar di dalam negeri.
Menurut pria yang sudah puluhan tahun menekuni bisnis ekspor mebeler dan aneka furniture antik tersebut, lesunya pasar ekspor sangat memukul ekonomi pengusaha. Karena itu, ia berharap pemerintah ikut serta membantu mencarikan potensi pasar ekspor yang baru agar proses produksi tidak tersendat.

Keluhan serupa terjadi pada perdagangan kerajinan ukir batu dari Banguntapan Bantul. Menurut perajin ukir batu, Tarjo, lesunya pasar ekspor mengakibatkan proses produksi terbatas. Karena itu, untuk menyiasati lesunya pasar ekspor pihaknya mengalihkan pemasaran ke dalam negeri, terutama perumahan-perumahan elite lokal.

Dengan demikian, diharapkan proses produksi bisa tetap berlangsung dan tidak mematikan usaha ukir batu yang telah ditekuninya secara turun temurun. "Saat ini pesanan order banyak dari perumahan-perumahan atau perorangan. Kalau dari luar negeri jarang, bahkan sangat sedikit, berbeda saat sebelum adanya krisis global," ujarnya.

Dengan mencari potensi pasar lokal atau dalam negeri, pengusaha berharap bisa bertahan melakukan proses produksi sambil menunggu krisis global berlalu. Mereka menyatakan, biaya produksi yang tinggi menyebabkan harga produk mahal, sedangkan daya beli melemah mengakibatkan pengusaha dalam kondisi terjepit dan sulit untuk melempar hasil produksinya. (M-1)-k

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor