Kebutuhan Konveksi Melonjak

Perajin Masih Kesulitan Bahan dan Modal
SLEMAN - Lebaran identik dengan baju baru. Momen itulah yang dimanfaatkan sejumlah pengusaha konveksi untuk meraup keuntungan. Bahkan para perajin sengaja menumpuk pakaian jadi untuk dipasarkan saat lebaran tiba.

Mukena menjadi salah satu jenis pakaian yang paling laris. Kebutuhan pakaian kelengkapan sholat untuk kaum perempuan itu meningkat sampai 10 kali lipat. "Bahkan bisa lebih dari itu. Kalau biasanya tiap minggu hanya laku 5 sampai 10 kodi. Sekarang bisa mencapai 50 kodi. Biasanya sampai H-7 lebaran," tutur Nurida, 30, pemilik usaha "Gelar Busana" di kampung Nogotirto, Gamping, kemarin (30/8).

Mukena seharga Rp 27.500-Rp 35.000 per potong itu tak hanya dipasarkan tingkat lokal Jogja saja. tapi merambah luar provinsi. Bahkan sampai Malaysia. Kendati terjadi lonjakan permintaan, Nurida mengaku keuntungan yang didapat sangat kecil. Kurang lebih hanya seribu rupiah. "Kami nggak bisa ambil untung banyak karena persaingan," tuturnya. Menurut Nurida, sampai H-7 permintaan mukena akan mulai berkurang. Konsumen akan beralih pada mukena bermotif atau renda yang bisa digunakan untuk bepergian.

Berbeda dengan Nurida yang mendapat banyak pesanan mukena sejak bulan puasa, Hasan Salim, 48, perajin konveksi rumahan lainnya memilih menumpuk dagangan sampai lebaran tiba. Hasan memproduksi celana wisata yang area pasarannya di Malioboro dan Borobudur. "Sengaja saya tumpuk untuk stok. Biar nanti hasilnya bisa langsung banyak.," tuturnya. Jika ada orang yang bermaksud membeli pun, Hasan mengaku akan menolaknya. Selama bulan puasa Hasan mengaku mampu memproduksi lima ribu celana wisata. Produksi Hasan juga mengalami lonjakan. Pada hari-hari normal, Hasan hanya mampu memproduksi sekitar 100-200 potong celana setiap bulan. Artinya selama bulan puasa, jumlah produksi meningkat 100 persen. Itupun waktu produksinya hanya satu minggu saja.

Harga celana beragam mulai Rp 5000-Rp 10.000/potong. "Kalau hari biasa tergantung modal. Saat puasa ya harus berhutang dulu. Sekitar Rp 25 sampai Rp 50 juta. Makanya pada hari-hari biasa saya nggak bisa buat stok barang," tutur Hasan yang mengunakan bahan blaco (mori mentah) sebagai bahan utama pembuat celana. Saat lebaran tiba, Hasan mengaku bisa mengantongi uang lebih dari Rp 50 juta. Sebagaian untuk membayar hutang dan sebagian lagi tentu untuk berlebaran. Hasan mengaku modal didapat dari berhutang secara perseorangan.

"Hutang di bank prosesnya rumit dan syaratnya banyak," keluhnya. Hasan mengakui masalah permodalan menjadi kendala dalam usahanya. Selain modal, bahan blaco juga sulit didapatkan. Pasalnya, hasil konveksi Hasan menggunakan bahan blaco kualitas nomor 3 (KW3) seharga Rp 6.000 per meter. "Kalau pakai KW 1 Rp 9.000 per meter. Modalnya tidak mencukupi. Sesuai kemampuan saja. Paling hanya Rp 5 juta cukup buat diputarkan ," ungkap Hasan yang juga Ketua Paguyuban RT dan RW Dusun Nogotirto ini. (yog)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor