Seumur Hidup

JAKARTA: Opsi penentuan gubernur DIY melalui penetapan nampaknya tinggal menunggu waktu. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto menegaskan pemerintah memiliki formula yang memungkinkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menempati posisi itu seumur hidup, karena Depdagri tetap menghormati kedudukan kesejarahan Sri Sultan Hamengku Buwono.

“Kami [pemerintah] telah memiliki formula, yakni di satu pihak demokrasi tetap berlangsung, sedangkan di lain pihak posisi Gubernur DIY bisa menempati kedudukan itu seumur hidup,” kata Mendagri Mardiyanto kepada pers di Jakarta, Rabu (9/9) seusai menghadiri acara peringatan Nuzulul Quran di kantornya. Keterangan itu disampaikan Mardiyanto ketika ditanya wartawan tentang pembahasan RUU Keistimewaan DIY antara pemerintah dengan DPR. Menurut Mardiyanto, saat ini sedang bekerja keras agar bisa membahas dan menyelesaikan pembahasan RUUK DIY sebelum masa tugas berakhir pada 30 September 2009. “Saya sedang merumuskan formula itu,” kata Mardiyanto seperti dikutip Antara.

3 Catatan

Ketua DPD Partai Demokrat DIY yang juga adik HB X, GBPH Prabukusmo mengaku pihaknya tetap akan memperjuangkan pengisian gubernur DIY dengan penetapan.“Itu tugas dari teman-teman di DPR. Saya sendiri akan melakukan [lobi] langsung dengan SBY,” kata Prabukusumo, di sela-sela peringatan ulang tahun ke-8 dan perayaan kemenangan SBY-Boediono di Pelataran Candi Boko, kemarin.

Namun menurut Prabukusumo, ada tiga catatan yang harus diperhatikan dalam hal penetapan. Catan pertama Sultan harus memenuhi persyaratan sebagai gubernur. Salah satunya usia. Harus dipikirkan bagaimana jika Sultan diangkat dalam usia muda, seperti halnya Sultan HB V yang diangkat jadi Sultan saat berusia 3 tahun.“Dalam usia itu tidak mungkin jadi gubernur,” katanya.

Catatan kedua, tidak mau. Mungkin saja Sultan merasa tidak mampu, atau mungkin juga jenuh. Semisal ketika diangkat jadi Sultan dalam usia 30 tahun, maka akan beberapa kali menjabat gubernur hingga bisa jenuh. Seperti HB VII yang sampai harus mengangkat putra mahkota empat kali karena sangat lama menjadi raja.“Kalau tidak mau terus bagaimana? Apakah adiknya atau kerabatnya?” katanya. Sedangkan hal ketiga yang juga menjadi catatan adalah bahwa Sultan harus disadari hanyalah manusia biasa yang mempunyai kelemahan. Bisa jadi suatu saat ada masalah yang menjadikan dia tidak layak menjadi gubernur.

“Semua harus dipikirkan jauh ke depan. Karena UU ini akan digunakan lama,” pungkasnya. Sementara itu, kalangan DPRD DIY kembali menegaskan penetapan yang demokratis adalah penetapan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, yakni penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

“Penetapan yang demoratis ya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Demokratis kan tidak melulu berdasarkan suara terbanyak, melainkan juga berdasarkan suara mufakat. Dan suara mufakat Jogja adalah penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY,” ungkap Anggota DPRD DIY dari Fraksi PDIP, Ternalem.

Harus konsisten

Pernyataan ini disampaikan menyusul rencana pemerintah untuk mencari jalan tengah penetapan, namun tidak berbenturan dengan esensi dari sebuah pemerintah otonomi.

Menurut Ternalem, pemerintah harus konsisten dengan makna demokratis oleh, dari, dan untuk rakyat. Sehingga, tidak alasan untuk tidak melanjutkan aspirasi masyarakat yang mayoritas setuju dengan penetapan dan bukan pemilihan. Pemilihan Gubernur DIY melalui DPRD, menurut dia, hal itu sama saja dengan konsep pemilihan. “Tidak ada kan masyarakat yang protes jika Gubernur DIY ditentukan melalui penetapan. Pemerintah pusat harus menanggapi demokrasi oleh, dari dan untuk rakyat. Hakekatnya, keistimewaan DIY itu adalah penetapan, tidak ada yang lain,” ungkapnya.

Senada, anggota DPRD DIY dari Fraksi PAN, Putut Wiryawan menjelaskan, pada dasarnya demokrasi itu adalah sesuai dengan sila ke empat Pancasila,yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Pemilihan Gubernur DIY melalui DPRD, menurutnya, hal itu memang sesuai dengan sila tersebut. Namun, pemerintah tentunya jangan terlepas dari aspirasi masyarakat, yang setuju akan penetapan.

Eksistensi keistimewaan DIY, lanjut dia, adalah penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Pakualam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. ”Eksistensi itu sudah ditegaskan dalam Pasal 18 UUD
1945,” jelasnya. Koordinator elemen masyarakat DIY yang tergabung dalam Gentaraja, Sunyoto, mengatakan RUUK biarlah tetap pada konsep awal, yakni penetapan. Segala hal yang menyangkut demokratisasi, kata dia, itu sudah menjadi keputusan rakyat yang nantinya, mekanisme pemilihan gubernur akan dilakukan oleh pihak Keraton.

”Biarkanlah menjadi pembelajaran bagi Keraton. Penentuan Gubernur dari Keraton tentu tidak akan terlepas dari UUK (Undang- undang Keistimewaan) itu,” ungkapnya. Sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sempat menyatakan konsep pemilihan gubernur melalui DPRD pada hakekatnya masih sama saja, yakni masih pemilihan bukan penetapan sesuai dengan wujud keistimewaan DIY. “Pada hakekatnya itu kan masih sama saja to, pemilihan,” katanya.

Oleh Amirudin Zuhri & Andreas Tri Pamungkas
HARIAN JOGJA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Terekam CCTV, Napi Asimilasi Ini Curi Uang dan Rokok di Pasar Sleman

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir