Pelanggaran Hak Anak di DIY Masih Tinggi
YOGYA (KRjogja.com) - Berdasarkan data yang dikeluarkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, Sepanjang tahun 2008 hingga tahun 2009, setidaknya terdapat 352 kasus pelanggaran hak terhadap anak. Kekerasan seksual, merupakan yang paling dominan, yakni 171 dengan korban terbanyaknya adalah anak-anak perempuan.
Seperti disampaikan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, Dr Y Sari Murti Widiyastuti SH MHum, urutan kedua, kasus terbanyak pelanggaran hak anak yakni kesulitan memperoleh akta kelahiran dengan 97 kasus, perebutan hak asuh anak sebanyak 61 kasus ditempat ketiga, diikuti kekerasan fisik di urutan keempat sebanyak 51 kasus, serta penelantaran anak menempati urutan kelima sebanyak 33 kasus.
Dikatakannya, untuk kasus kekerasan seksual, korban umumnya berusia 6-10 tahun. Pelaku, biasanya berasal dari orang dekat seperti tetangga atau teman. “Setelah disistematisir, ada tiga hal pokok yang perlu mendapat perhatian serius, yakni masalah formulasi hukum, implemetasi lembaga, serta masalah budaya,” papar Sari Murti di Yogyakarta, Senin (9/11).
Menurutnya, meski telah ada Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), namun pada kenyataannya masih belum dapat melinduni anak-anak dari kekerasan. Masih ada beberapa pasal yang bisa dicadikan celah untuk terjadinya kekerasan.
"Salah satu contohnya, terlihat pada ketentuan pasal 37 ayat 3 yang mensyaratkan, lembaga yang akan melakukan pengasuhan anak harus seagama dengan agama si anak. Sepintas pasal ini bagus, namun pada praktekknya justru menyulitkan. Misalnya, apabila menemui kasus anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya dan dibuang ketika masih bayi, tentu sulit untuk menemukan agamanya," tegas Sari Murti.
Untuk meminimalisir pelanggaran-pelanggaran tersebut, menurut Sari Murti, diperlukan edukasi secara intensif kepada masyarakat mengenai bagaimana tindakan pencegahan yang harus ditempuh keluarga. Agar tidak terjadi miskomunikasi, baik tingkat pendidikan dari masyarakat ataupun faktor lainnya. “Demikian pula dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, jangan sampai malah merugikan atau membuat bingung masyarakat," pungkas Sari. (Fir)
Seperti disampaikan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, Dr Y Sari Murti Widiyastuti SH MHum, urutan kedua, kasus terbanyak pelanggaran hak anak yakni kesulitan memperoleh akta kelahiran dengan 97 kasus, perebutan hak asuh anak sebanyak 61 kasus ditempat ketiga, diikuti kekerasan fisik di urutan keempat sebanyak 51 kasus, serta penelantaran anak menempati urutan kelima sebanyak 33 kasus.
Dikatakannya, untuk kasus kekerasan seksual, korban umumnya berusia 6-10 tahun. Pelaku, biasanya berasal dari orang dekat seperti tetangga atau teman. “Setelah disistematisir, ada tiga hal pokok yang perlu mendapat perhatian serius, yakni masalah formulasi hukum, implemetasi lembaga, serta masalah budaya,” papar Sari Murti di Yogyakarta, Senin (9/11).
Menurutnya, meski telah ada Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), namun pada kenyataannya masih belum dapat melinduni anak-anak dari kekerasan. Masih ada beberapa pasal yang bisa dicadikan celah untuk terjadinya kekerasan.
"Salah satu contohnya, terlihat pada ketentuan pasal 37 ayat 3 yang mensyaratkan, lembaga yang akan melakukan pengasuhan anak harus seagama dengan agama si anak. Sepintas pasal ini bagus, namun pada praktekknya justru menyulitkan. Misalnya, apabila menemui kasus anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya dan dibuang ketika masih bayi, tentu sulit untuk menemukan agamanya," tegas Sari Murti.
Untuk meminimalisir pelanggaran-pelanggaran tersebut, menurut Sari Murti, diperlukan edukasi secara intensif kepada masyarakat mengenai bagaimana tindakan pencegahan yang harus ditempuh keluarga. Agar tidak terjadi miskomunikasi, baik tingkat pendidikan dari masyarakat ataupun faktor lainnya. “Demikian pula dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, jangan sampai malah merugikan atau membuat bingung masyarakat," pungkas Sari. (Fir)
Komentar
Posting Komentar