Gencarnya Promosi Susu Formula Sumbang Angka Kematian Bayi

RADAR JOGJA - Gencarnya promosi susu formula bagi bayi akhir-akhir ini justru sedikit menghambat program pemerintah untuk menekan angka kematian bayi. Meski tak bisa dikatakan secara langsung susu formula juga menyumbang angka kematian bayi, setidaknya dengan adanya susu formula mengakibatkan kebutuhan air susu ibu (ASI) menjadi terabaikan. Hal inilah yang menurunkan daya tahan bayi.

Dari hasil penelitian, pemberian ASI eksklusif sebanyak 80 persen maupun penerapan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) terbukti mencegah kematian bayi sebesar 22 persen. Sedangkan pemberian ASI ekslusifenam bulan penuh sebanyak 80 persen bisa mencegah kematian bayi sebesar 30 persen. Hal ini disampaikan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat DInas Kesehatan Provinsi DIJ drg Inni Hikmatin usai konferensi pers mengenai Hari Gizi Nasional ke-58, kemarin (20/1).

Dengan demikian, bisa dikatakan promosi susu formula yang terbilang berhasil ini bisa menggeser upaya penyelamatan bayi, karena ibu menjadi tergiur dengan memberikan susu formula kepada bayinya hanya karena ingin praktis. "Saat ini kesadaran ibu menerapkan IMD dan memberi ASI ekslusif kepada bayinya yang masih berusia 0 - 6 bulan masih terbilang rendah. Padahal IMD dan ASI ekslusif juga bisa menurunkan angka gizi buruk dan meningkatkan derajat kesehatan," ujar Inni.

Kondisi ini, lanjut dia, diperburuk juga dengan minimnya rumah sakit sayang ibu dan bayi (RSSIB). Selain itu, di DIJ juga masih sedikit kantor ataupun fasilitas umum yang menyediakan ruang laktasi bagi ibu yang sedang menyusui. Sehingga ibu cenderung memilih cara praktis meninggalkan bayinya dengan susu formula. Padahal selain mengurangi angka kematian bayi, ASI juga dapat membantu perkembangan otak balita jika diberikan pada masa keemasannya, serta menekan angka gizi buruk pada balita.

Meski demikian, Inni sedikit lega karena angka gizi buruk balita di DIJ sudah mengalami penurunan. Tahun 2008,balita gizi buruk di DIJ sebanyak 1.399 balita, tau sekitar 0,37 persen. Sedangkan jumlah balita kurang gizi di DIJ sebanyak 19.281 jiwa. Angka ini lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya, Inni tak membawa data lengkap mengenai grafik penurunannya. Penderita gizi buruk di DIJ paling banyak terdapat di wilayah Kulonprogo. Namun di daerah lain seperti Gunungkidul, angkanya juga masih banyak.

"Tahun ini Dinkes akan fokus perbaiki kondisi gizi buruk di Kulonprogo. APBD DIJ sudah menganggarkan Rp 700 juta untuk perbaikan gizi buruk, tapi sebenarnya angka ini masih terbilang kecil karena pos anggaran tahun 2009 sebesar Rp 3,6 miliar untuk perbaikan gizi," imbuh Inni.

Masih banyaknya kasus gizi buruk, juga diakibatkan karena masih kurang meratanya penyebaran ahli gizi di Indonesia. Koordinator Bidang Pengembangan Profesi DPD Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) DIJ Joko Susilo mengatakan, meski dalam setahun setiap Politeknik Kesehatan mampu meluluskan tenaga ahli gizi sebanyak 70-80 orang, jumlah tersebut masih jauh dari yang dibutuhkan. "Dalam setahun paling banyak ada 4 ribu lulusan, dari 25 Poltekkes di Indonesia. Padahal kebutuhan Depkes tahun 2010 saja mencapai 30 ribu tenaga ahli gizi," ujarnya.

Menyikapi hal ini, Dinkes DIJ telah menyusun program pembangunan jangka menengah untuk 2010-2014 mendatang. Yakni untuk seluruh puskesmas di DIJ yang berjumlah 120 unit harus memiliki tenaga gizi. Selain itu, ahli gizi juga harus ada di unit pelayanan kesehatan, penyelenggara makanan, lembaga penelitian kesehatan, serta lembaga-lembaga sosial. (nis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Terekam CCTV, Napi Asimilasi Ini Curi Uang dan Rokok di Pasar Sleman

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir