Melestarikan Tradisi Budaya Bekakak...

HARIAN JOGJA - GAMPING: Ambarketawang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Gamping, Sleman. Terbentuknya Desa Ambarketawang berdasarkan Maklumat Pemerintah Provinsi DIY pada tahun 1946 yang menggabungkan empat kelurahan yakni Kelurahan Gamping, Mejing, Bodeh, dan Kalimanjung ke dalam satu Kelurahan (Desa) yang disebut dengan Ambarketawang.

Nama Ambarketawang berarti bau harum yang memenuhi angkasa. Menurut Kepala Desa Ambarketawang Sumaryanto, berdasarkan cerita dari masa ke masa nama Ambarketawang diambil dari nama pesanggrahan Sultan Hamengkubuwana I yang terletak di desa ini. Menurut sejarah, akibat perjanjian Giyanti (1755), dibangunlah Kraton Yogyakarta.

Saat proses pembangunan Sultan HB I sementara tinggal di sebelah barat Kota Jogja yang dikenal sebagai pesanggrahan Ambarketawang. Lokasi tersebut saat ini terletak di Padukuhan Tlogo. Menurut dia, keberadaan Desa Ambarketawang di jalur utama Jogja-Purwokerto-Jakarta, membuat Desa Ambarketawang berkembang dengan pesat terutama dalam bidang perekonomian, perindustrian, perdagangan dan kependudukan.

Dengan perkembangan yang begitu pesat serta dukungan Kantor Kecamatan Gamping serta kantor-kantor, mengakibatkan wilayah ini menjadi pusat pengembangan Ibukota Kecamatan, dan merupakan wilayah pengembangan “Desa Ambarketawang memiliki tradisi khas berupa penyembelihan Bekakak, sepasang boneka temanten muda yang terbuat dari tepung ketan.

Tradisi dilaksanakan setahun sekali dalam bulan Sapar dalam Kalender Jawa. Tradisi ini terkait dengan tokoh Ki Wirosuto, satu dari tiga bersaudara dengan Ki Wirojombo, dan Ki Wirodono yang merupakan abdi dalem HB I yang sangat dikasihi. Dan pada upacara tahun ini berlangsung lebih meriah dibanding tahun sebelumnya,” jelasnya kepada Harian Jogja, di selasela upacara adat Bekakak pekan lalu.

Menurut dia, ketika pembangunan Kraton Jogja sedang berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirosuto yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama, antara tanggal 10 dan 15, pada hari Jumat, terjadi musibah, Gunung Gamping longsor.
Ki Wirosuto dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan.

Hilangnya Ki Wirosuto dan keluarga di Gunung Gamping ini menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirosuto tetap ada di Gunung Gamping. “Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki dan Nyi Wirosuto kepada Raja HB I. Tapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping agar terhindar dari bencana. Sebab pengambilan batu gamping cukup sulit dan berbahaya,” ungkap dia yang bertekat akan melestarikan Bekakak sebagai warisan budaya yang sudah ada turun temurun.

Oleh Theresia T. Andayani
HARIAN JOGJA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor