Ironi Kemakmuran "Mataram" Modern

Mohamad Final Daeng dan Lukas Adi Prasetyo
Tersebutlah sebuah ramalan kuno dari zaman nenek moyang yang diteruskan turun- temurun di masyarakat Yogyakarta hingga awal abad ke-20. Yogyakarta akan makmur jika Sungai Progo dan Sungai Opak bisa disatukan!

Ramalan tersebut barangkali hanya dianggap dongengan belaka saat itu. Tak lebih dari cerita pengantar tidur bagi setiap bocah kampung yang masih jauh dari kemakmuran.

Sebelum Perang Dunia II, dataran rendah luas di antara kedua sungai besar itu, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta, merupakan daerah minus. Tanaman pangan hanya bisa diusahakan pada musim hujan. Tak ada harapan jika kemarau datang.

Lagi pula, bagaimana mungkin dua sungai yang terpisah lebih dari 30 kilometer itu bisa disatukan? Sebuah wishfull thinking. Namun, mimpi besar tersebut terus hidup dan dihidupkan. Hingga tahun berganti menjadi 1943.

Saat itu tentara Jepang tengah menancapkan kukunya di nusantara, tidak terkecuali Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Keraton Yogyakarta, gelisah. Ribuan rakyatnya terancam dikirim kerja paksa (romusa) ke luar daerah oleh Jepang.

Entah ide itu datang dari mana. Dongeng masa kecil atau mimpi itu sendiri yang mewujudkan dirinya dalam benak Raja. Tercetuslah niat Sultan membujuk Jepang memfokuskan tenaga rakyatnya membangun saluran irigasi yang menghubungkan Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur.

Saluran itu akan menjadi sumber pengairan bagi ribuan hektar lahan sawah yang dilewatinya agar bisa ditanami sepanjang tahun. Peningkatan hasil pertanian tentunya menjadi insentif menarik bagi bala tentara Jepang yang membutuhkan logistik untuk mendukung Perang Pasifik yang hendak dimenanginya.

Singkatnya, saluran yang awalnya bernama Kanal Yoshiro itu akhirnya dibangun. Kemakmuran yang diramalkan pun perlahan-lahan terwujud. Ribuan nyawa rakyat Yogyakarta terhindar dari kekejian kerja paksa di luar daerah dan produktivitas pertanian meningkat berlipat-lipat.

Kini, setelah 67 tahun berlalu, kemakmuran itu seolah memakan buntutnya sendiri. Pembangunan permukiman yang pesat akibat tumbuhnya perekonomian sekitar dekade 1990-an membawa konsekuensi meningkatnya aktivitas penduduk di sepanjang Selokan Mataram.

Kerusakan

Impitan terhadap selokan tersebut sangat terasa di wilayah Sleman tengah, yakni Kecamatan Depok dan Mlati. Sembilan kampus di sepanjang jalur Selokan Mataram memunculkan pusat-pusat perniagaan pendukung, mulai dari pondok makan, jasa pencucian motor, warnet, hingga pembuat pigura. Selokan yang hadir lebih awal kemudian dianggap asing dan dipinggirkan.

”Perkembangan tak diiringi kesadaran lingkungan penghuninya. Selokan dianggap seperti tempat pembuangan sampah,” kata pakar sumber daya air dan lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Agus Maryono.

Pemantauan di sepanjang selokan yang menghubungkan Jalan Magelang di barat dan Jalan Seturan di timur menegaskan kondisi tersebut. Tumpukan sampah terlihat jelas di dasar selokan yang saat itu sedang disurutkan untuk perawatan rutin.

Mulai dari botol air mineral, plastik kresek berisi sampah, ban bekas, dan sampah-sampah rumah tangga lainnya berserakan di ruas selokan sejauh sekitar 5 kilometer. Bahkan, pernah dijumpai kasur bekas terapung.

Bukan hanya itu, pembuangan limbah cair dan padat dari rumah tangga ataupun usaha-usaha kecil yang menjamur di sana sangat telanjang tanpa penindakan. Di beberapa titik talut (tebing) selokan terlihat moncong-moncong pipa pembuangan air dari rumah warga.

Kepala Bidang Pelaksana Jaringan Pemanfaatan Air Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Erwin Tri Nugroho, mengakui kondisi itu. ”Akibat hal itu, dasar selokan lebih cepat ditumpuki sedimen. Saluran pembuangan limbah rumah tangga juga membuat saluran cepat kotor,” katanya.

Dampak kerusakan sangat jelas terasa jika ditanyakan kepada para petani yang menunggu berkah air selokan yang kini memasok 20.817 hektar sawah itu. Khususnya tentu saja para petani di bagian hilir atau mendekati Sungai Opak.

Dampak bagi petani

Selain air yang kotor kecoklatan, sedimentasi sampah mengurangi debit air yang diterima petani. Ngatijan (60), petani di Kadirojo, Kecamatan Kalasan, Sleman timur, mengatakan, hampir setiap hari membersihkan pintu air selokan di desanya dari sampah-sampah yang menumpuk.

”Dulu, sekitar tahun 1980-an, sampah yang ada hanya daun-daunan. Sekarang, plastik, botol, kain, dan kardus. Banyaknya minta ampun,” ujarnya.

Sarengat (47), petani di Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman, punya cerita lebih parah lagi. Hampir setiap bulan kakinya terluka akibat menginjak pecahan kaca saat menggarap sawah. Kaca-kaca itu berasal dari botol minuman yang terbawa air saluran ke sawahnya.

Selain menambah pekerjaan petani, tercemarnya air oleh berbagai limbah juga diyakini memperburuk mutu air yang menurunkan kualitas tanaman pemakai air tersebut, seperti diungkapkan Erwin. ”Namun, kami belum pernah meneliti hal itu secara ilmiah,” katanya.

Kepala Kebun Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Pertanian Universitas Gadjah Mada Cahyono Agus mengatakan, pada prinsipnya, kontaminasi unsur-unsur nonorganik dalam air yang dipakai untuk irigasi akan mengganggu kualitas tanaman, terutama yang mengandung zat kimiawi.

”Jangankan nonorganik, unsur organik saja, kalau terlalu berlebihan, bisa merusak tanaman,” ujar Cahyono.

Kerusakan mulai dari terhambatnya pertumbuhan hingga mematikan tanaman. Berbagai limbah domestik dan usaha kecil yang dibuang ke selokan mengandung unsur-unsur yang merusak itu, seperti logam dan detergen.

Hal itu mungkin bisa dihubungkan dengan pengakuan Sarengat yang menyebut padinya kini semakin mudah terserang hama dibandingkan dengan belasan tahun lalu, seperti walang dan sundep. Adapun Ngatijan merasakan rasa nasi dari padinya dulu lebih enak daripada sekarang. ”Hasil panen dulu juga lebih banyak ketimbang saat ini,” ujarnya.

Permasalahan di atas hanya sekelumit dari segudang problem yang dihadapi Selokan Mataram di zaman yang makin melupakan petani ini. Semakin berkurangnya debit air, konflik pembagian air, sampai peralatan fisik selokan yang telah uzur dan kerap dicuri tangan-tangan jahil menjadi beberapa problem lain yang juga menghantui.

Mungkin tinggal tunggu waktu sampai selokan bersejarah warga ”Mataram” itu benar-benar tinggal sejarah. Satu lagi kisah ironi tentang alat kemakmuran yang ditelan hidup-hidup oleh kemakmuran itu sendiri.

Tentu saja, kemakmuran itu bukan untuk para petani yang setiap hari berharap berkah dari selokan.
Editor: wsn | Sumber : Kompas Cetak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Terekam CCTV, Napi Asimilasi Ini Curi Uang dan Rokok di Pasar Sleman

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir