Babak Baru Gunung Merapi

KOMPAS.com — Skala dan pola letusan eksplosif Gunung Merapi di Yogyakarta tahun ini meninggalkan kelaziman erupsi Merapi setidaknya selama 138 tahun terakhir.

Pola erupsi Merapi selama ini dikenal ”kalem”, tidak meledak-ledak, dengan pembentukan kubah lava yang longsor menjadi guguran ataupun luncuran awan panas skala kecil hingga menengah (terjauh 8 kilometer).

Semua tersentak saat Gunung Merapi meletus dahsyat pada 26 Oktober 2010. Tiga dentuman hebat disertai gelombang luncuran awan panas bersuhu 600 derajat celsius berdurasi maksimal 33 menit meluncur sejauh 8 km, meluluhlantakkan segala yang dilintasinya.

Kemudian ternyata rangkaian letusan lain susul-menyusul terjadi, yang memuncak (hingga saat ini) pada erupsi tiada henti sejak 3 November hingga 7 November. Guguran material dan awan panas terjadi tiada putus diselingi gemuruh yang terdengar hingga radius 30 km.

Hujan pasir menjangkau radius 15 km dan hujan abu merembet hingga Jawa Barat. Letusan pada 4 November bahkan menciptakan kolom asap setinggi 8 km dari puncak. Rangkaian letusan menciptakan kawah berdiameter 400 meter di sisi selatan.

Jarak luncur awan panas terjauh selama periode lima hari erupsi itu tercatat sejauh 14 km di Dusun Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Korban jiwa melonjak dari 36 orang pada letusan 26 Oktober menjadi 151 orang hingga Selasa (9/11/2010).

Pada rangkaian erupsi itu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dua kali menaikkan radius bahaya primer dari semula 10 km menjadi 15 km (3 November) pukul 15.55 dan dari 15 km menjadi 20 km pada pukul 01.00 (5 November).

Badan Geologi memperkirakan, volume material vulkanik yang dimuntahkan Merapi selama 26 Oktober-9 November mencapai 140 juta meter kubik. Jumlah itu 10 kali lebih besar daripada volume erupsi 2006.

Benarkah Merapi meninggalkan kelaziman erupsi efusif yang dikenal warga?

Berubah-ubah

Jika kita membuka berbagai referensi, sejak pertama muncul sebagai gunung pada sekitar 60.000 tahun lalu, Merapi sebenarnya tidak memiliki satu pola letusan sama. Ia berubah-ubah sepanjang periode sejarah, dari model ekstrusi lava secara efusif hingga erupsi eksplosif. Mulai abad ke-19, tren eksplosif semakin besar. Mulai abad ke-20, Merapi memasuki interval aktivitas rendah.

Para peneliti vulkanologi jauh-jauh hari telah memperkirakan rangkaian letusan efusif (luncuran) yang seolah menjadi ciri khas Merapi sejak tahun 1900-an hanyalah kondisi sementara. Letusan Merapi yang eksplosif akan terjadi lagi. Hal itu menjadi kesimpulan penelitian para vulkanolog dalam dan luar negeri yang terangkum dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi 100 terbitan tahun 2000 dengan laporan utama berjudul ”10.000 Years of Explosive Eruptions Merapi Volcano, Central Java: Archaelogical and Modern Implications”. Data geologi telah menunjukkan hal itu.

Tahun 1800-1900-an, aktivitas Merapi direkam cukup lengkap oleh naturalis Junghun, vulkanolog Bemmellen, Hartmann, hingga Neumann van Padang. Sayangnya, informasi dan catatan dokumentasi terkait perilaku Merapi tersebar dan tidak terdokumentasi dengan baik. Padahal, catatan lengkap dari abad ke abad itu penting untuk keperluan riset, pemantauan lebih lanjut, dan terutama untuk penyusunan program mitigasi.

Dampak letusan eksplosif akan sangat fatal mengingat kepadatan penduduk di lereng Merapi sekarang. Ancaman bahaya semakin besar karena hingga kini tidak ada satu metode pasti yang bisa digunakan untuk memprediksi kapan letusan besar muncul. Sementara itu, masyarakat yang telanjur terbiasa dengan pola erupsi efusif tidak mengetahui ancaman yang mereka hadapi.

Sedahsyat apa pun dampak letusan Merapi, masyarakat tetap akan kembali menghuni lerengnya. Ada ikatan sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak bisa lepas. Antropolog Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, masyarakat Merapi menyikapi alam dengan mencoba memahami gejalanya. Dalam posisi inilah, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan berkembang dalam upaya menjelaskan berbagai gejala alam.

Kirbani Brotopuspito, Guru Besar Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pemantauan Merapi harus diperkuat. Selain badan vulkanologi, universitas yang memiliki lembaga riset juga perlu membantu. (ENG/DOT)

Source : Kompas Cetak
(Admin : dengan sedikit perubahan title)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor