Eks Pengungsi Merapi : Setengah Hidup Pascaerupsi...

KOMPAS.com — Aktivitas Merapi boleh mereda, sebagian pengungsi juga bisa pulang ke dusunnya, tetapi kegundahan masih bersama tiga ribuan siswa-siswi SD, SMP, hingga SMA di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Arya Rangga Yudha Rizki Pratama (11) salah satunya. Pengungsi Merapi di Gedung Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu harus pindah sekolah lagi. Sepekan terakhir, pelajar kelas VI SD Negeri I Pakem, Sleman, itu menumpang belajar di SD Negeri Deresan di Kecamatan Depok.

Belum cukup kenal teman baru dan adaptasi, mulai Rabu (24/11/2010) ia harus pindah lagi ke SD Negeri Pojok yang lebih dekat dengan Stadion Maguwoharjo. ”Pusing sekali pindah-pindah sekolah begini,” kata Arya.

Kepindahannya seiring kepindahan sekitar 150 pengungsi GOR UNY ke Stadion Maguwoharjo, Depok. Sementara sekitar 600 pengungsi sudah dapat pulang ke rumah masing-masing karena telah dinyatakan aman.

Sejak erupsi Merapi 5 November, nasib sejumlah murid sekolah di Kabupaten Sleman terombang-ambing. Baru sepekan menumpang di satu sekolah, mereka harus pindah lagi.

Hingga saat ini rumah keluarga Arya di Dusun Panggeran, Desa Hargobinangun, Sleman, masih dalam kawasan berbahaya. Sudah 19 hari bocah itu tinggal di pengungsian. Dalam kurun waktu itu, sekolahnya tutup dan belum berfungsi hingga kini. Murid dan para gurunya terpencar di sejumlah pengungsian Merapi.

Akibatnya, Arya dan teman- temannya tak bersekolah selama dua pekan. Proses belajar mereka baru dimulai pekan lalu. Itu pun menumpang di sekolah yang dekat dengan lokasi pengungsiannya.

Dari data Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, sejak erupsi Merapi 5 November hingga sekarang terdapat 40 sekolah yang belum bisa digunakan karena rusak atau dalam wilayah bahaya. Sekolah-sekolah itu terdiri atas 28 sekolah rusak di kawasan rawan bencana III dan 12 sekolah di kawasan rawan bencana II, tetapi dekat sungai yang terancam banjir lahar dingin.

Jumlah murid di sekolah-sekolah itu lebih dari 3.289 orang. Mereka terombang-ambing dan harus menumpang bersekolah di sekolah lain ataupun gedung-gedung pemerintahan.

Ketidakpastian itu membuat pelajar takut tak lulus ujian nasional yang akan berlangsung 3-5 bulan mendatang. ”Saya merasa ketinggalan banyak pelajaran. Takut, tetapi tidak tahu harus bagaimana,” kata Arya.

Kegundahan juga diungkapkan pelajar kelas VIII SMP Negeri 2 Pakem, Fitria Nur Indahsari (13) dan Suci Romadhona (13). Sepekan ini, keduanya bersekolah di posko pendidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika, jaraknya belasan kilometer dari rumah mereka.

”Jadwalnya tidak tetap, kelas VIII digabung dengan kelas VII. Jadi bingung mendengarkan guru yang mana,” kata Fitria. Namun, mengingat kondisi yang masih berbahaya, Suci dan Fitria hanya bisa pasrah. ”Sampai kini sekolah kami masih penuh debu vulkanik, Gunung Merapi pun beberapa kali bergemuruh. Kami masih takut kalau harus di sana,” kata Suci.

Sepekan ini sudah 26 guru yang aktif mengajar di sekolah darurat itu. Padahal, 23 dari 26 guru masih tinggal di pengungsian.

Lain lagi kisah keluarga eks pengungsi. Saat dusun sudah aman, para orangtua kembali ke rumah dengan sukacita. Setidaknya, hari-hari berisi ”euforia” lepas dari belenggu mengungsi.

Keluarga Aris Winoto (70) kembali berkumpul dengan istrinya, Tukirah (50); menantunya, Tumini; dan kerabatnya, Tukiran; di rumah sederhana Dusun Nganggring, Girikerto, Turi, Sleman, yang berjarak 8-9 kilometer dari puncak Merapi. Selasa kemarin, anak-anak dan cucu-cucunya datang. Mereka hendak menginap bersama setelah tiga pekan mengungsi.

Menu khusus sudah menanti, yakni sayur jipang (labu siam) dengan sambal dan kerupuk lempeng. Selama mengungsi di sebuah gedung di Mlati, Sleman, mereka makan dengan menu telur dan daging. Namun, masalah segera menghadang. Listrik di Dusun Nganggring mati. Kali Boyong, tempat mata air yang jadi andalan penduduk, tertimbun material vulkanik. Kondisi serupa terlihat di Tritis dan Ngandong, dua dusun teratas di Girikerto, berjarak 7 kilometer dari puncak.

Di Dusun Boyong, Hargobinangun, Pakem, listrik sudah normal sejak Senin sore lalu. Namun, tidak ada sumber air bersih. Umbul Wadon di Kali Kuning, sumber utama air ke rumah-rumah penduduk, tak bisa lagi diharapkan. Instalasi pipa rusak diterjang lahar.

Suraji, warga Boyong, misalnya, harus naik-turun menggunakan motor ke Dusun Randu, Hargobinangun, yang terletak 2 kilometer di selatan dusunnya. Untuk memberi minum empat sapinya, ia 2-3 kali sehari ke Dusun Randu. Belum lagi jika harus mandi dan buang air.

Untuk sementara, para eks pengungsi yang pulang ke dusun menikmati euforia ”pulang kampung” itu. Akan tetapi, dalam beberapa hari nanti, soal sekolah anak-anak, listrik, dan air bersih niscaya bakal jadi masalah baru... dan butuh waktu lama untuk memulihkannya.

OLEH IRENE SARWINDANINGRUM dan LUKAS ADI PRASETYA
Kompas Cetak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor