Selama 1 Jam Merapi Keluarkan Awan Panas

Sindo | Setelah istirahat beberapa hari, Gunung Merapi kembali mengamuk dengan mengeluarkan awan panas atau wedhus gembelpukul 17.38 kemarin. Wedhus gembel yang dimuntahkan gunung bertipe stratodi perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Tengah tersebut cukup besar dan berlangsung lebih dari satu jam.

Berdasarkan pantauan kamera CCTV yang dipasang di Deles Klaten, dalam erupsi tersebut juga terlihat kolom asap tinggi mengarah ke barat daya yang diikuti dengan munculnya lava pijar yang cukup besar sekitar pukul 18.45. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM Surono menjelaskan, awan panas yang dikeluarkan Merapi pada petang kemarin tergolong besar karena bisa dilihat berdasarkan pantauan di amplitudo energi Merapi yang terpantau di seismograf di BPPTK Yogyakarta.

“Jarum di seismograf bergerak cepat menunjukkan energi Gunung Merapi masih besar.” ”Amplitudo energi tersebut berbanding lurus dengan awan panas yang dikeluarkan. Bisa saya katakan, bahwa awan panas ini tergolong besar dengan durasi lebih dari satu jam,” katanya di Kantor BPPTK Yogyakarta, tadi malam. Menurut dia, sebelumnya dalam beberapa hari terakhir ini aktivitas Merapi memang mengalami tren penurunan.

Sehingga, luncuran awan panas yang mengarah ke barat daya tersebut memang cukup mengejutkan.“Secara logika Merapi sudah berjalan berdasarkan sistemnya, yakni mulai menurun. Namun, kenyataannya awan panas besar kembali muncul. Mungkin ini dampak pada gempa tektonik pada 9 Nopember lalu di pesisir selatan Pulau Jawa dan bisa dirasakan warga di Yogyakarta,” jelasnya.

Surono menegaskan, luncuran awan panas tersebut berbahaya karena kondisi di Gunung Merapi sudah seperti jalan tol. Sehingga, wedhus gembelbisa meluncur deras dan tidak lagi dihalangi oleh gundukan, pepohonan atau rumah penduduk di sekitar lereng Merapi. Karena, pemukiman tersebut sudah dihantam awan panas sebelumnya. “Sehingga, kami memperkirakan awan panas tersebut meluncur sangat jauh. Mudah-mudah tidak ada lagi korban karena warga sudah meninggalkan kawasan rawan bencana (KRB). Zona aman tetap 20 kilometer dari puncak Merapi,” ungkapnya.

Berdasarkan pantauan seismograf di Kantor BPPTK Yogyakarta, pada pukul 12.54 juga muncul awan panas berdurasi sekitar tiga menit yang meluncur ke arah selatan sejauh 3-4 km.Pascaletusan 26 Oktober,intensitas seismik Merapi juga sempat mereda.Namun kembali meletus secara besar pada 3 November dengan puncak letusan pada 5 November.

“Masyarakat tetap diminta untuk berada di luar radius 20 kilometer sebagai radius berbahaya yang telah ditetapkan sebelumnya ataupun beraktivitas di sepanjang alur sungai berhulu di Merapi. Adanya letusan terkahir ini (kemarin sore) kita belum ada rencana untuk memperluas zona aman,”katanya.

Laporan dari Pos Ketep,Magelang menyebutkan, tampak beberapa kali asap berwarna putih kecoklatan hingga kehitaman condong ke selatan, barat daya, barat dan barat laut setinggi 1.000 meter dari puncak Merapi dan bertekanan lemah. Suara gemuruh dengan intensitas lemah sampai sedang masih terdengar dari Kaliurang,Sleman.

Terjadi hujan abu tipis dilaporkan di Medari dan Seyegan di Kabupaten Sleman. Selain itu terjadi awan panas dua kali.Awan panas pertama terjadi pada pukul 12.54 berdurasi tiga menit dengan jarak luncur 4 km menuju Kali Gendol dan Kali Talang. Awan panas kedua terjadi pada pukul 17.38 yang sampai laporan ini di susun awan panas masih berlangsung.

Merapi Sulit Dipahami

Empat ahli Vulkanologi dari Universitas Kyoto Jepang menyatakan bahwa letusan Gunung Merapi menunjukan gejala berbeda dari letusan yang terjadi sebelumnya. Para ahli yang membantu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ini masih melakukan penelitian lanjut dan belum mengetahui penyebab fenomena ini.

Associate Professor Dissaster Prevention Reseach, Kyoto University Masato Iguchi mengatakan, hal serupa juga terjadi pada beberapa gunung di Jepang, salah satunya adalah Gunung Mayake Jima. Pada awalnya, tipe letusan gunung tersebut adalah efusif dengan leleran lava dengan siklus 20 tahun sekali. Namun pada tahun 2000, gunung tersebut meletus dengan membuat kaldera berdiameter satu kilometer.

Bahkan letusan besarnya sampai membuat kolom asap setinggi 10 km. “Kami memberikan informasi dan pendampingan dalam bidang vulkanologi pada Pak Surono (Kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) secara terus menerus,” ujarnya saat memberikan keterangan pada wartawan di Hotel Ina Garuda, kemarin. Dari hasil penelitian di Mayake Jima,lanjut Masato Iguchi,diketahui bahwa perubahan tersebut disebabkan adanya pergerakan magma dalam volume yang sangat besar dalam perut gunung.

Pergerakan magma di gunung tersebut pada akhirnya membuat letusan ekplosif yang dahsyat dan menyebabkan munculnya kaldera luas. Namun, dirinya tidak bisa memastikan, apakah hal serupa terjadi pada Gunung Merapi atau terjadi gejalan vulkanis yang lain. Sebelumnya, pemerintah Jepang mengirimkan tiga ahli vulkanologi untuk membantu meneliti kondisi pasca erupsi Gunung Merapi.

Mereka adalah Kenji Nogami ahli di bidang volcanic chemistry, Masato Iguchi ahli di bidang physical vulcanology,Takayuki Kaneko ahli di bidang volcano geology dan ahli penyakit saluran pernapasan, Satoru Ishii. Masato Iguchi mengaku tidak bisa memprediksi kapan fase letusan gunung Merapi ini akan berakhir. Aktivitas gunung api dimanapun, kata dia, tidak bisa diprediksi kapan dimulai dan berakhirnya secara tepat.

Para ahli menurutnya hanya bisa membaca fenomena yang bisa diamati secara visual maupunseismic. “Sangat sulit untuk dipahami apalagi diprediksi. Semua yang terjadi di Gunung Merapi adalah fenomena baru dalam amatan saya,”ujarnya. Dalam misinya ke Gunung Merapi ini,mereka juga memasang tiga unit mikrofon infrasonik.Alat ini dimaksudkan untuk mempertajam pengamatan Gunung Merapi sehingga instansi yang berwenang memperoleh gambaran aktivitas yang lebih tepat.

Selama ini,pengamatan secara visual Gunung Merapi sering terhalang kabut sehingga tidak terlihat adanya letusan. Selain itu, suara dentuman erupsi juga sering tidak terdengar dari sisi selatan. Mikrofon infrasonik tersebut mampu menangkap gelombang udara yang tertekan karena letusan Gunung Merapi. Selain itu melengkapi pengamat, tidak hanya mendasarkan pengamatan pada seismograf atau pengamatan visual.

Alat tersebut, dipasang pada radius 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi sesuai jaran aman yang telah ditetapkan, salah satunya di dekat Prambanan. Kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,Kementrian ESDM, Surono mengatakan teknologi infrasonik ini sebenarnya bukan hal baru dalam pengamatan gunung api di Indonesia.

Beberapa gunung, seperti Semeru dan Krakatau telah dipasang alat serupa. “Saya mendapatkan tugas dari Presiden untuk mendatangkan expert dari luar negeri.Gunung Guntur,Semeru dan Sinabung juga kami kerjasamakan. Merapi merupakan laboratorium gunung api dunia,”ujarnya. (ridwan anshori/ mn latief)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor