Jika Mau Bantu Belanda : HB IX Sudah Jadi Raja Mataram Raya

Krjogja.com | Bila ingin tahu seberapa besar jasa Sinuwun Sri Sultan HB IX terhadap NKRI, baca buku Perubahan Sosial di Yogyakarta. Buku yang diangkat dari disertasi almarhum Prof Dr Selo Sumardjan saat mengambil gelar doktor sosiologi di Cornell University limapuluh tahun lalu mengungkap banyak fakta tentang sikap dan tindakan HB IX saat menghadapi pemerintah kolonial Belanda, Jepang dan Pemerintah NKRI pada awal-awal kemerdekaan.

Sejarah yang sangat menarik adalah pada masa-masa menjelang dan awal kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Saat menakutkan bagi para raja di bumi Nusantara karena akan kehilangan kekuasaannya. Namun tidak demikian bagi Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam VII. Ketika raja-raja yang lain memilih menutup diri terhadap para pejuang revolusi, Raja dan Adipati di Yogyakarta justru langsung mengapresiasi keinginan para pemuda untuk merdeka. Bukan tahta dan kekuasaan yang menjadi dasar sikap Sultan Yogya dan Adipati Purapakualaman, namun kehendak rakyat yang mendambakan menjadi bangsa merdeka, terbebas dari penjajahan bangsa asing.

Alhasil, dari banyak kerajaan, hanya Keraton Ngayogyakarta dan Pura Pakualaman yang masih diakui sebagai wilayah berdaulat yang dengan penuh kesadaran menyatakan bergabung menjadi bagian NKRI. Dua kerajaan di Solo tak lagi diakui lantaran pemerintah kabupaten baru di Solo memilih ikut RI dan tak mengakui kekuasaan Susuhunan dan Mangkunegara.

Dipaparkan pula bila sebenarnya Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak pernah diakui oleh pemerintah kolinial Belanda. Buktinya, begitu Jepang keok melawan negara Sekutu, Belanda bergegas masuk ke Indonesia untuk menjajah lagi. Masa-masa awal kemerdekaan akhirnya lebih disibukkan dengan acara pertempuran tentara Indonesia melawan tentara Belanda. Presiden Soekarno, Wapres Moh Hatta, Perdana Menteri Sutan Syharir selalu diuber-uber Londo. Bahkan Sutan Syharir nyaris tewas saat dihujani peluru oleh tentara Belanda saat mengendarai mobilnya.

Melihat situasi keamanan di Jakarta yang tidak kondusif dan menghambat aktivitas pemerintahan, Sri Sultan HB IX mengundang Pemerintah Republik untuk pindah ke Yogyakarta. Semua fasilitas disediakan, mulai dari gedung hingga masalah pendanaan. Maka mulai 4 Januari 1946 sebanyak 50 ribu orang mulai dari para tokoh politik, pegawai pemerintah, militer, kementrian berkantor di Yogyakarta.

Ternyata fasilitas yang disediakan Sri Sultan HB IX dinilai masih belum cukup bagi pejabat pusat. Mereka membutuhkan fasilitas kemudahan lainnya lagi. Wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta pun di acak-acak. Para tamu tersebut membuat wilayah administrasi baru tanpa minta izin, apalagi minta bimbingan Raja Karaton Yogya. Eloknya Sri Sultan tidak keberatan terhadap kebijakan-kebijakan petinggi pemerintah RI yang dibuat tanpa mempelajari kultur Yogyakarta. Baru setelah mengahadapi masalah, akhirnya pengaturan Yogyakarta kembali diserahkan kepada Sinuwun HB IX.

Baru dua tahun Yogyakarta menjadi ibu kota RI, 19 Desember 1948 tentara Belanda tiba-tiba menyerbu Yogya. Presiden-wapres dan para menteri ditangkap dan diasingkan ke Digul. Tentara meninggalkan kota dan melancarkan perang gerilya dibantu para pamong praja dan warga menyerang beteng-beteng pertahanan Belanda. Para pegawai daerah tidak ada yang patuh terhadap pemerintah Belanda dan hanya setia kepada Ngarso Dalem hingga saat diminta untuk mengundurkan diri pun dilaksanakan beramai-ramai.

Belanda benar-benar judeg. Pemerintahan macet dan tidak pernah merasa aman lantaran setiap saat datang serangan dari para gerilyawan. Akhirnya Kerajaan Belanda mengirim delegasi untuk merayu Sultan HB IX agar mau bekerjasama. Raja Keraton Ngayogyakarta tetep teguh pendiriannya, meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Iming-iming Belanda yang akan mengangkat menjadi Raja Mataram Raya yang berkuasa atas wilayah Kerajaan Mataram lama di Jawatengah dikurangi Surakarta dan Mangkunegaran, tak dapat mengubah pendirian HB IX yang mengabdikan tahtanya demi rakyat .

Enam bulan Belanda bercokol di Yogyakarta. Selama kurun waktu itu juga sepak terjang tentara Belanda semakin terlihat dimata penduduk dunia. Maklum yang dihadapi Belanda adalah seorang Raja produk pendidikan Barat namun berkepribadian Jawa Yogya. Ketegangan antara kaum kolonial Belanda dan HB IX selalu menjadi perhatian dunia. Dunia semakin tahu terhadap keinginan Raja Ngayogyakarta yang mendambakan kemerdekaan bagi bangsanya setelah tentara Indonesia melancarkan besar-besaran terhadap Belanda yang tersohor dengan Serangan Oemoem 1 Maret 49.

Keteguhan Sri Sultan HB IX yang mengabaikan kepentingan pribadi demi kemerdekaan RI dan kegiatan politik para delegasi di PBB akhirnya memaksa Dewan Keamanan PBB mengeluarkan keputusan Belanda harus menarik diri dari Indonesia dan mengembalikan kedaulatan RI.

Belanda tidak berkutik dan tak mampu lagi menutupi sandiwaranya menjajah dengan berpura-pura sebagai dewa penolong. Belanda memang banyak mendirikan bangunan megah namun bukan untuk kepentingan penduduk Indonesia, tetapi untuk kepentingan Belanda sendiri.. Bangsa Indonesia dibiarkan, bahkan dikondisikan agar tetap bodoh dengan dibenamkan di alam pikiran mistis, sementara warga Belanda yang sudah berada dialam fikirian fungsional dan mampu menguasai teknologi dengan leluasa mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Ternyata ilmu urik bangsa Londo menjadi tumpul setelah berhadapan dengan raja nunggal guru Juli 1949 Presiden dan Wapres serta tahanan politik lainnya dibebaskan. Pemerintahan pusat yang masih berada di Yogyakarta pun hidup kembali.

Proses penyerahan kadaulatan RI hingga penarikan tentara Belanda dari Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada Sri Sultan HB IX yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Keamanan. Di bawah kepemimpinan Ngarso Dalem HB IX, semua berjalan mulus tanpa diwarnai insiden secuilpun. Puncaknya, pada tanggal 27 Desember 1949 Sri Sultan HB IX menerima pengembalian kedaulatan bagi bangsa Indonesia dari Wakil Mahkota Belanda di Jakarta.

Jadi jelas sekali, bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 belum punya arti, terutama bagi penjajah Belanda. Pengakuan baru datang setelah selama enam bulan tentara Belanda bercokol di Yogyakarta dijadikan bulan-bulanan oleh Raja Kasultanan Yogyakarta akibat kerakusannnya merampas kemerdekaan bangsa lain.

Atas jasa Sri Sultan HB IX menyelamatkan kemerdekaan RI hingga memilih mengabaikan kepentingan pribadi, Presiden RI Soekarna atas nama Pemerintah RI memberi hadiah tanah perdikan (Daerah Istimewa) Yogyakarta. Sebagai raja dan adipati di tanah perdikan tersebut, Sri Sultan dan Adipadi Pakualam dengan sendirinya juga kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Inilah yang membuat Yogyakarta Istimewa. Bukan sekedar sebutan wilayah administrasi, namun lantaran peran dan posisinya yang membuat istimewa. Tanpa Keraton Yogyakarta, tanpa Sri Sultan HB IX, boleh jadi RI belum bisa merdeka.

Seandainya Sri Sultan HB IX lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sudah menjadi raja sepanjang masa, Raja Mataram Raya yang dilindungi Kerajaan Belanda sejak tahun 1946. Mungkin sekarang sudah sangat maju jauh meninggalkan negeri tetangga yang kisruh tiada henti akibat keberagaman namun tidak ada kekuatan yang mampu menjadi pemersatu. Namun bukan kepentingan daerah yang diperjuangkan Ngarso Dalem. Kepentingan seluruh bangsa Indonesia lah yang lebih diutamakan..(B.Murdoko)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor