Sultan Tak Ingin Kebal Hukum

YOGYAKARTA (SINDO) – Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY tengah dalam pembahasan antara pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Anggota Tim Asistensi RUUK Pemprov DIY Tavip Agus Rayantov mengingatkan bahwa masa perpanjangan jabatan Sultan Hamengku Buwono (HB) X sebagai gubernur akan habis pada Oktober tahun ini. Karena itu, penyelesaian RUUK akan menjadi pertaruhan politik bagi kinerja pemerintahan SBY di mata masyarakatYogyakarta. Dia berharap target pembahasan selesai pada April mendatang tak meleset.

Menurut Tavip,Sultan bersama dengan tim mencermati aspek yang menonjol dari usulan pemerintah, yaitu soal gubernur utama. Interpretasi usulan ini adalah keinginan pemerintah pusat ingin menempatkan Sultan sebagai sosok yang tidak mungkin terjangkau oleh hukum.

Menurut Tavip, makna gubernur utama inilah yang menjadi salah satu perbedaan pandangan antara Sultan HB X dan pemerintah pusat.Sultan menginginkan posisinya di hadapan hukum sama dengan masyarakat yang lain.Artinya jika Sultan suatu saat terkena masalah hokum,maka harus diselesaikan sebagaimana warga negara yang lain.

”Beliau (Sultan HB X) berpandangan yang punya pemikiran seperti itu (gubernur utama) yang monarki. Kalau sekarang ini malah tidak monarki karena meski dia sebagai sultan saat kena masalah hukum yaharus diproses,”ujarnya Tavip yang juga Asisten Pemerintahan Bidang Kesejahteraan Rakyat Setda Propinsi DIY ini.

Budayawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Djoko Suryo berpendapat, keberadaan gubernur utama justru merusak nilai budaya. Dari kajian aspek budaya,hukum maupun sejarah pemerintahan, jabatan tersebut tidak pernah ditemukan. ”Ini gagasan sepihak pemerintah.Karena tidak ada (dalam sejarah, budaya dan hukum) hal ini akan sulit diterima,”ujarnya usai melakukan pertemuan bersama Sultan.

Kemunculan konsep gubernur utama,menurut Djoko menunjukkan argumentasi pemerintah yang tidak didasarkan pada sejarah dan aspirasi masyarakat Yogyakarta. Selain itu, pemerintah juga terkesan berubah-ubah dalam argumentasinya, sebelum konsep gubernur utama pemerintah mengusung konsep parardhya.

Sementara itu, langkah DPRD Provinsi DIY yang akan mengirimkan delegasi untuk mengawal pembahasan RUUK di tingkat DPR dianggap sebagai langkah politik yang sia-sia. Delegasi tidak akan memberikan efek politik apapun terhadap pembahasan draf tersebut.“ Peran diplomasi yang akan dimainkan tak akan efektif apalagi terlalu banyak anggota yang dilibatkan yang pasti sudah pemborosan APBD,” ujar pengajar Fisipol UGM, Arie Sudjito. Menurut Djito-demikian dia biasa dipanggil, anggota delegasi seharusnya sudah mengomunikasikan sikap politiknya pada induk partainya di pusat. (mn latief)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Terekam CCTV, Napi Asimilasi Ini Curi Uang dan Rokok di Pasar Sleman

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir