YOGYAKARTA – Sekantung darah sangat bernilai harganya bagi kehidupan pasien. Namun untuk mendapatkan di Palang Merah Indonesia (PMI), pasien harus membayar hingga mencapai Rp250.000.
Mahalnya,biaya untuk mendapatkan darah itu bisa saja menimbulkan anggapan PMI mengomersialkan darah dari pendonor. Anggapan itu bisa muncul, terlebih bagi pendonor, transfusi darah dilakukan tanpa meminta imbalan. Dibyo, warga Klaten,Jawa Tengah dan merupakan salah satu keluarga pasien Rumah Sakit di Yogyakarta merasakan mahalnya biaya mendapatkan darah itu.
Dibyo menceritakan belum lama ini istrinya yang tengah mendapatkan perawatan harus segera mendapatkan transfusi darah.Sebelum menjalani operasi dibutuhkan enam kantung darah. Dari jumlah itu, dua kantung didapatkannya dengan mengambil dari PMI di Klaten, Jawa Tengah, sedangkan empat kantung lagi dari pendonor yang dia ajak melakukan transfusi di PMI Kota Yogyakarta. “Satu kantungnya yang berisi 250 cc harus ganti Rp250.000,” ucapnya.
Dengan biaya penggantian sebesar itu, dilihat secara kemanusiaan terasa mahal,terlebih pendonor sendiri melakukannya secara sukarela. Namun karena kebutuhan yang mendesak dan menyangkut keselamatan jiwa,seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan tetap diberikan.“Kalau dilihat dari urgensinya dan keselamatan jiwa berapa pun tidak ada artinya,”tandas Dibyo.
Menanggapi besarnya biaya mendapatkan darah,staf administrasi dari PMI Kota Yogyakarta Nur Edy Hidayatullah menerangkan pendonor yang menyumbangkan darah ke PMI diakui melakukan dilakukan secara sukarela. Meski begitu, darah itu tidak serta-merta bisa langsung masuk ke tubuh pasien karena harus diperiksa ada tidaknya penyakit seperti HIV,hepatitis B,hepatitis C,dan sifilis. “Biaya pemeriksaan laboratorium dari pendonor itu dibebankan kepada pasien yang membutuhkan darah,” ungkapnya.
Secara terperinci uang Rp250.000 itu untuk pemeriksaan laboratorium, pembelian kantung darah, produksi komponen darah, dan terakhir pengujian cocok serasi antara darah pendonor dan pasien. Mengenai alat laboratorium yang digunakan di PMI dibandingkan dengan laboratorium lain dinilai lebih sensitif. “Alat dan reagen yang kami gunakan berbeda,alat dari PMI dapat mengetahui jarak inkubasi virus dari pendonor sejak terinfeksi dengan cepat,jadi kalau darah ada penyakit langsung cepat diketahui,”paparnya.
Dilihat dari nominalnya,bila dibandingkan dengan biaya uji laboratorium yang dilakukan, uang itu tidak terlalu mahal.Untuk menopang biaya itu, PMI tidak mampu mengingat PMI bukan di bawah pemerintah.“Biaya itu sudah dikurangi dari bantuan karena kita selama ini berjalan juga karena adanya bantuan, dan dari potongan itu kenanya jadi Rp250.000,”kata Dibyo.
PMI Kota Yogyakarta setidaknya membutuhkan 100– 150 kantung darah per hari. Realitanya, jumlah pendonor hanya 30–90 orang per hari.Dari perhitungan Edy,selama dua tahun terakhir jumlah pendonor mencapai 36.000 orang. Jumlah itu pun tidak bisa mencukupi permintaan darah. Untuk itu,Dibyo mengajak masyarakat ikut menjadi pendonor karena tidak dilakukan setiap bulan.Donor darah itu bisa dilakukan minimal lima kali dalam satu tahun atau setiap 75 hari.
Berdasarkan jenis golongan darah yang dihitung dari persentase jumlah penduduk yang ada, diketahui pendonor golongan darah A sebanyak 20%, golongan darah B (30%), golongan darah 0 (40%), dan golongan darah AB (10%). Melalui pengecekan laboratorium, golongan darah itu masih dibagi antara golongan darah Rhesus (Rh) positif dan negatif. Penduduk Indonesia ratarata memiliki golongan darah Rh positif.
Untuk melakukan transfusi darah Rh positif hanya bisa digunakan untuk pasien Rh positif, sedang untuk darah golongan Rh negatif bisa diberikan untuk pasien yang golongannya Rh negatif maupun Rh positif.
“Yang Rh negatif ini sulit didapat.Di DIY hanya ada 30 orang, makanya sering kita ambil dari PMI lain,begitu juga kita dari PMI Yogya pernah mengirim ke daerah lain seperti Batam dan NTB,”ungkapnya. muji barnugroho
Sumber : Seputar Indonesia
Mahalnya,biaya untuk mendapatkan darah itu bisa saja menimbulkan anggapan PMI mengomersialkan darah dari pendonor. Anggapan itu bisa muncul, terlebih bagi pendonor, transfusi darah dilakukan tanpa meminta imbalan. Dibyo, warga Klaten,Jawa Tengah dan merupakan salah satu keluarga pasien Rumah Sakit di Yogyakarta merasakan mahalnya biaya mendapatkan darah itu.
Dibyo menceritakan belum lama ini istrinya yang tengah mendapatkan perawatan harus segera mendapatkan transfusi darah.Sebelum menjalani operasi dibutuhkan enam kantung darah. Dari jumlah itu, dua kantung didapatkannya dengan mengambil dari PMI di Klaten, Jawa Tengah, sedangkan empat kantung lagi dari pendonor yang dia ajak melakukan transfusi di PMI Kota Yogyakarta. “Satu kantungnya yang berisi 250 cc harus ganti Rp250.000,” ucapnya.
Dengan biaya penggantian sebesar itu, dilihat secara kemanusiaan terasa mahal,terlebih pendonor sendiri melakukannya secara sukarela. Namun karena kebutuhan yang mendesak dan menyangkut keselamatan jiwa,seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan tetap diberikan.“Kalau dilihat dari urgensinya dan keselamatan jiwa berapa pun tidak ada artinya,”tandas Dibyo.
Menanggapi besarnya biaya mendapatkan darah,staf administrasi dari PMI Kota Yogyakarta Nur Edy Hidayatullah menerangkan pendonor yang menyumbangkan darah ke PMI diakui melakukan dilakukan secara sukarela. Meski begitu, darah itu tidak serta-merta bisa langsung masuk ke tubuh pasien karena harus diperiksa ada tidaknya penyakit seperti HIV,hepatitis B,hepatitis C,dan sifilis. “Biaya pemeriksaan laboratorium dari pendonor itu dibebankan kepada pasien yang membutuhkan darah,” ungkapnya.
Secara terperinci uang Rp250.000 itu untuk pemeriksaan laboratorium, pembelian kantung darah, produksi komponen darah, dan terakhir pengujian cocok serasi antara darah pendonor dan pasien. Mengenai alat laboratorium yang digunakan di PMI dibandingkan dengan laboratorium lain dinilai lebih sensitif. “Alat dan reagen yang kami gunakan berbeda,alat dari PMI dapat mengetahui jarak inkubasi virus dari pendonor sejak terinfeksi dengan cepat,jadi kalau darah ada penyakit langsung cepat diketahui,”paparnya.
Dilihat dari nominalnya,bila dibandingkan dengan biaya uji laboratorium yang dilakukan, uang itu tidak terlalu mahal.Untuk menopang biaya itu, PMI tidak mampu mengingat PMI bukan di bawah pemerintah.“Biaya itu sudah dikurangi dari bantuan karena kita selama ini berjalan juga karena adanya bantuan, dan dari potongan itu kenanya jadi Rp250.000,”kata Dibyo.
PMI Kota Yogyakarta setidaknya membutuhkan 100– 150 kantung darah per hari. Realitanya, jumlah pendonor hanya 30–90 orang per hari.Dari perhitungan Edy,selama dua tahun terakhir jumlah pendonor mencapai 36.000 orang. Jumlah itu pun tidak bisa mencukupi permintaan darah. Untuk itu,Dibyo mengajak masyarakat ikut menjadi pendonor karena tidak dilakukan setiap bulan.Donor darah itu bisa dilakukan minimal lima kali dalam satu tahun atau setiap 75 hari.
Berdasarkan jenis golongan darah yang dihitung dari persentase jumlah penduduk yang ada, diketahui pendonor golongan darah A sebanyak 20%, golongan darah B (30%), golongan darah 0 (40%), dan golongan darah AB (10%). Melalui pengecekan laboratorium, golongan darah itu masih dibagi antara golongan darah Rhesus (Rh) positif dan negatif. Penduduk Indonesia ratarata memiliki golongan darah Rh positif.
Untuk melakukan transfusi darah Rh positif hanya bisa digunakan untuk pasien Rh positif, sedang untuk darah golongan Rh negatif bisa diberikan untuk pasien yang golongannya Rh negatif maupun Rh positif.
“Yang Rh negatif ini sulit didapat.Di DIY hanya ada 30 orang, makanya sering kita ambil dari PMI lain,begitu juga kita dari PMI Yogya pernah mengirim ke daerah lain seperti Batam dan NTB,”ungkapnya. muji barnugroho
Sumber : Seputar Indonesia
Ada golongan darah butuh buat dimakan...
BalasHapus