Dalem Keraton Ikut Terancam Punah

Pemprov Tak Mampu Membeayai
RADAR JOGJA - Kepunahan tak hanya mengancam bangunan kuno dan bersejarah, seperti rumah joglo maupun yang bercorak arsitektur Tiongkok. Sejumlah dalem milik pangeran Keraton Jogja di masa lalu pun mengalami nasib serupa.

Kediaman para pangeran itu satu per satu telah berpindah tangan karena dijualbelikan oleh ahli warisnya. Kejadian itu antara lain menimpa Dalem Ngabean, kediaman Pangeran Hangabehi dan Dalem Polowijan, milik Pangeran Puruboyo.

Kedua dalem itu jatuh ke tangan pengusaha Probosutedjo. Belum lagi dalem Tedjokusuman dan sejumlah dalem lainnya. "Itu semua karena pemerintah tidak mampu membeayai jika harus membeli rumah-rumah tersebut," kata anggota Komisi D DPRD DIJ Heru Wahyu Kismoyo kemarin.

Menurut Heru, pemprov memang telah memiliki Perda Kawasan Cagar Budaya (KCB) dan Benda Cagar Budaya (BCB). Tapi sejauh ini, kemampuan pemerintah baru memberikan sertifikat penghargaan terhadap ahli waris yang peduli. "Itu pun belum banyak membantu," lanjut Heru.

Seharusnya, pemprov mencadangkan anggaran melalui APBD untuk mengantisipasi kepunahan KCB guna memberikan contoh teladan kepada masyarakat. Ini agar mereka tidak mengubah pusaka budaya untuk kepentingan ekonomis seperti mal. Heru juga mendesak pemprov segera menerbitkan peraturan gubernur tentang KCB dan BCB yang telah diinventarisasi setelah tiga tahun lalu Perda KCB dan BCB disahkan.

Anggota FPG ini juga merasa prihatin dengan nasib Dalem Kencono Wungu yang ada di komplek Keputren Keraton Jogja dan regol Kemandungan Kidul yang rusah parah. Padahal, Dalem Kencono Wungu merupakan tempat dilahirkannya para calon raja keraton Jogja. Kejadian serupa juga dialami Istana Ambarukmo yang sekarang kalah pamor dengan Ambarukmo Plaza.

"Kita juga prihatin dengan Dalem Sompilan tempat dilahirkannya Sultan HB IX yang tidak terawat maupun Dalem Notoprajan yang menjadi ruang pertemuan HB IX dengan Soeharto sebelum SO 1 Maret," urainya.

Terpisah, Direktur Bonang Foundation Ahmad Husni SH MH menyatakan, di masa lalu Jogja memiliki banyak bangunan bercorak joglo, Tiongkok hingga Indische. Tapi, satu demi satu bangunan itu hilang karena dirobohkan dengan alasan berbagai kepentingan.

"Itu sebetulnya yang membedakan dengan kota lain. Istimewanya Jogja bukan hanya penetapan atau pemilihan gubernur," cetus dosen FH UMY ini. Untuk menyelamatkan bangunan bersejarah itu, pemerintah daerah perku segera menetapkan sebagai BCB dan KCB.

Itu sebagai langkah preventif dan antisipasi menyelematkan BCB dan KCB yang tersebar di Jogja. "Kami melihat upaya penegakan perda juga masih lemah," kritik aktivis pecinta cagar budaya ini.

Dinas Kebudayan DIJ juga perlu menginventarisasi sebelum bangunan-bangunan bersejarah itu betul-betul punah. Fenomena yang sekarang terjadi bukan menyelamatkan tapi ramai-ramai menghabisi dengan merobohkan bangunan-bangunan tersebut. (kus)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor