Tak Perlu Cemas, Saatnya Kembangkan Ekonomi Islam

RADAR JOGJA-Krisis Global di Mata Para Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja Tak ada alasan untuk panik menghadapi krisis yang terjadi belakangan ini. Krisis yang terjadi hanyalah krisis keuangan. Dan krisis keuangan akan segera pulih dalam waktu yang cepat. ERWAN WIDYARTO, Jogja BEGITULAH benang merah dari bahasan lima ekonom UII Jogja yang memiliki latar belakang kajian beragam. Ada Prof Dr Edy Suandi Hamid (ekonom kerakyatan), Dr Munrokhim Misanam (ekonomi Islam), Dr Agus Harjito (pakar keuangan), Dr Jaka Sriyana (fiskal) dan Dr Suharto (sektor riil). Munrokhim secara tegas menyebut bahwa krisis kali ini mirip dengan crash 1982 yang menyebabkan 32 orang bunuh diri karena panik dan stres. Tapi, krisis tersebut lantas pulih kembali dalam hitungan dua atau tiga hari berikutnya. ’’Persis seperti krisis kali ini. Bursa saham yang anjlok segera rebound lagi. Naik dalam beberapa hari,’’ tegasnya.

Ekonom yang menjadi konsultan di Islamic Development Bank (IDB) ini juga menilai respons yang dilakukan pemerintah kurang pas. Apa yang dilakukan mengatasi krisis keuangan hanyalah bentuk kepanikan atau kegugupan agar tidak disebut sebagai pemerintah yang sense of crisis-nya kurang. ’’Semestinya, yang lebih diperhatikan adalah antisipasi dampak moneternya. Tapi, itu tidak dilakukan. Mestinya, antisipasi dampak moneter yang bisa berimbas ke sektor riil, maupun perbankan segera dilakukan. Saya usulkan dengan menerapkan pajak progresif pada transaksi dolar di bursa,’’ tambahnya. Dengan pajak progresif, orang akan berpikir untuk berspekulasi dan keuntungan yang cepat didapat bisa terdistribusi ke kelompok lain. ’’Lha ini tidak. Mereka yang bermain di bursa itu seminggu bisa dapat lima miliar tapi tak dikenai pajak. Akibatnya, tak terjadi distribusi,’’ tegas Munrokhim.

Munrokhim juga menambahkan dengan instrumen fiskal bernama pajak itu, sektor riil juga dimungkinkan untuk bergerak lewat mekanisme distribusi tadi. Sebab, tanpa mekanisme distribusi, krisis yang terjadi akibat keserakahan manusia mengumpulkan kapital itu akan terus berlangsung. Nah, melihat penyebab krisis yang terjadi karena keserakahan itu, Munrokhim mengusulkan agar mulai dikembangkan ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan. Dan itu adalah ekonomi Islam. ’’Ekonomi Islam mestinya menemukan momentum dalam krisis ini karena inilah sebuah sistem ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan. Dan tampaknya, dunia sudah mulai menyadari. Hongkong sudah menegaskan ingin menjadi pusat keuangan Islam dunia. Juga Singapura,’’ tandas penulis buku Ekonomi Islam yang diterbitkan Rajawali Press ini. Usulan tentang ekonomi alternatif ini juga dilontarkan Edy Suandi Hamid yang juga rektor UII. Jika Munrokhim melontarkan ekonomi Islam, Edy menawarkan ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan.

’’Ekonomi Pancasila itu kan hampir sama dengan ekonomi Islam yang juga lebih berorientasi kerakyatan,’’ ujar Munrokhim menanggapi usul Edy Suandi Hamid. Agak berbeda dengan Munrokhim maupun Edy, Jaka Sriyana menilai krisis keuangan tak hanya menggoncang sektor keuangan tapi juga merambah ke sektor lain, tak terkecuali sektor fiskal (APBN). Sayangnya, yang dilakukan otoritas moneter kurang pas. Menaikkan BI rate menjadi 9,5% berakibat pada berkurangnya likuiditas perbankan maupun aliran dana ke masyarakat untuk menggerakkan sektor riil. ’’Ketika jurus moneter tidak berfungsi, kebijakan fiskal menjadi tumpuan penyelamatan ekonomi nasional. Namun, perubahan kebijakan fiskal ini justeru membuka masalah baru dalam tata kelola fiskal,’’ kata Jaka. Jaka menilai betapa rapuhnya pengelolaan APBN kita. Itu terbukti dengan penutupan penjualan surat utang negara (SUN). Mestinya, tak perlu mengambil kebijakan penutupan seperti itu. ’’Penjualan SUN di pasar domestik juga tidak perlu dihentikan karena pembiayaan defisit dengan sumber dalam negeri akan lebih aman dibanding dengan utang luar negeri,’’ tambahnya. Antisipasi yang dilakukan pemerintah juga menunjukkan bagaimana lemahnya fondasi ekonomi kita.

Apa yang selama ini dikatakan sebagai prestasi baik kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) seperti nilai rupiah stabil, suku bunga turun hanyalah performa semu. Mestinya, prestasi ekonomi itu didukung dengan perbaikan penjualan komoditas minyak, nikel maupun kelapa sawit. Agar tak mudah tergoncang krisis keuangan, Dr Suharto memberi penekanan tentang perlunya mengembangkan sektor riil. Selama ini, meski digembar-gemborkan besaran dana untuk mengembangkan usaha kecil menengah atau sektor riil, seringkali bukan dalam bentuk menggerakkan ekonominya. Melainkan dana untuk penyuluhan atau seminar. ’’Sedikit sekali akses kredit untuk kalangan ini,’’ tegasnya.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir