Resep Dokter RS Swasta Dikritik


YOGYAKARTA– Pasien wajib bersikap kritis karena saat ini banyak pelayan kesehatan yang meresepkan obat yang tidak penting, tidak rasional, atau mengabaikan obat esensial.

Hal inilah yang membuat biaya pengobatan bisa tiga atau empat kali lebih mahal dari seharusnya. Kritik tersebut disampaikan Sri Suryawati seusai pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) kemarin. Guru besar yang akrab disapa Surya ini menyatakan, sikap kritis yang diharapkan pada pasien tersebut bertujuan meningkatkan mutu penggunaan obat.

“Sikap ini ditujukan kepada pihak swasta yang memang kurang mampu dikendalikan dalam pemberian obat ini,”ujarnya. Surya mengutarakan persentase penggunaan obat esensial di rumah sakit swasta hanya 34–49% dari resep obat yang diberikan. Sisanya ialah obat-obat nonesensial.Namun, dia kembali menegaskan hal tersebut sebagian besar terjadi di sektor swasta.

Sebaliknya, pada sentra pelayanan kesehatan milik pemerintah seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), menurut dosen Fakultas Kedokteran UGM ini, kesadaran memberikan obat esensial jauh lebih tinggi. Surya mencontohkan dokter pemerintah makin sadar terhadap obat esensial.Buktinya,obat nonesensial yang dulu ditradisikan dokter pemerintah seperti antibiotika, saat ini penggunaannya terus berkurang.

Dari 88% pada 1987 hingga 50% pada 2010. Begitu juga injeksi atau suntik bagi pasien dengan obat yang tidak benar-benar diperlukan telah menurun drastis dari 74% pada 1987 hingga hanya 3% pada 2010. “Tapi menurut saya, banyaknya resep obat nonesensial bukan salah dokter atau manajemen rumah sakit,”ujar Surya. Ada berbagai hal yang memengaruhi penyedia pelayanan kesehatan. Faktor pengetahuan dan keyakinan penyedia pelayanan kesehatan tidak selalu menentukan rasionalisasi pemberian obat.

Sementara itu,Ketua Ikatan DokterIndonesia(IDI) DIYBambang Suryono Suwondo mengatakan salah satu penyebab biaya pengobatan mahal bukan dikarenakan dokter yang menambah- nambahi obat yang tidak dibutuhkan. Tapi lebih dikarenakan pajak produksi obat yang hingga saat ini masih tinggi. Belum lagi masalah bahan baku yang harus impor. “Prasangka seperti ini justru merugikan profesi dokter. Padahal belum tentu itu perbuatan dokter.

Buktinya, bahan baku obat sampai sekarang masih harus impor dari India atau China.Selain itu,dokter juga tidak mungkin sembarangan memberi obat karena risikonya besar.” Bambang menambahkan tiap dokter memiliki kewajiban hanya meresepkan obat yang dibutuhkan pasien.Untuk obat esensial,menurut dia, jumlahnya terbatas dan hanya obat pokok saja. Namun dia menyetujui jika dilakukan pengawasan bagi para dokter dalam meresepkan obat. Ini agar penyelesaian terhadap hal-hal seperti biaya pengobatan yang masih relatif mahal bisa terselesaikan. ratih keswara 

Sumber : Seputar Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Super Murah "Back To School" Matahari Godean Toserba & Swalayan

Kasus Corona DIY Tambah 10 Jadi 169, Ada dari Klaster Gereja dan Indogrosir

Bebas 2 Pekan, Napi Asimilasi di Yogya Diciduk Gegara Nyolong Motor